HAJI BERSAMA RASULULLAH -shollallohu alaihi wasallam-.

Posted: 13 Mei 2009 in Haji
Tag:, , , , , , , , , , , , , , , ,

2872008-052226AMBismillah…  Segala puji bagi Alloh Robb semesta alam, sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi dan Rasul yang paling mulia, Nabi kita Muhammad beserta seluruh keluarga dan sahabatnya, amma ba’du:

Saudaraku seiman!

Anda yang telah membulatkan tekad untuk menunaikan ibadah haji ke rumah Alloh, anda yang telah menginfakkan harta, usaha, dan waktu karenanya! Anda yang telah meninggalkan keluarga, anak, kerabat dan orang tercinta untuknya! Anda yang telah menanggalkan pakaian mewah dan indah untuk menggantinya dengan kain ihrom yang lebih mirip dengan kafan! Itu semua untuk menunaikan kewajiban yang agung, dan karena mengharap ridho sang pencipta, karena anda tahu sesungguhnya Tiada balasan untuk haji yang mabrur, kecuali surga” sebagaimana sabda Rosulullah -shollallohu alaihi wasallam- dalam hadits yang muttafaq alaih. Nabi -shollallohu alaihi wasallam- juga  bersabda: “Barangsiapa yang berhaji, dan dia tidak berbuat keji dan fasik (ketika melaksanakannya), maka ia akan kembali (bersih dari dosa kepada Allah), sebagaimana ketika ia dilahirkan ibunya” muttafaq alaih.

Imam Bukhori meriwayatkan dari ‘Aisyah ra, ia bertanya: wahai Rosululloh! kami menganggap amalan paling utama adalah jihad, apakah tidak sebaiknya kami berjihad? Rosul menjawab: Akan tetapi jihad yang paling afdhol adalah haji yang mabrur”. dan definisi haji yang mabrur adalah haji yang sesuai dengan tuntunan Nabi -shollallohu alaihi wasallam- ketika menunaikan ibadah haji, karena beliau bersabda: “Ambillah dariku, tata cara manasik hajimu!” HR. Muslim. Oleh karena itulah, kami ingin menjelaskan tata cara haji yang sesuai dengan tuntunan Nabi saw, yang kami pilihkan dari penjelasan syeikh Muhammad bin Sholih bin ‘Utsaimin –semoga Alloh merahmatinya- kami berharap Alloh berkenan menjadikan haji anda haji yang mabrur, dosa anda maghfur, dan langkah anda masykur.

TATA CARA MANASIK HAJI DAN UMROH

Syeikh Muhammad bin Sholih bin ‘Utsaimin –semoga Alloh merahmatinya- mengatakan:

Kami di sini akan menjelaskan  secara ringkas tata cara manasik haji tamattu’: Apabila seseorang ingin haji atau umroh, dan ia berangkat ke makkah pada bulan-bulan haji, maka yang paling afdhol baginya adalah berumroh dahulu agar hajinya menjadi haji tamattu’.

Hendaklah ia berihrom dengan niat umroh dari miqot, dan sebelum memakai kain ihrom sebaiknya ia mandi sebagaimana mandi junub. Hukum mandi ini adalah sunah baik bagi laki-laki maupun perempuan, bahkan disunahkan pula bagi mereka yang sedang haid atau nifas.

Setelah mandi disunnahkan untuk memakai wewangian pada rambut dan jenggotnya, kemudian memakai kain ihrom, dan niat ihrom setelah sholat fardhu, jika datangnya tepat pada waktu sholat fardhu, (jika tidak demikian) niat ihromnya setelah sholat sunah, dengan niat sholat sunah wudhu’, (perlu ditekankan di sini bahwa) tidak ada sholat sunat khusus untuk ihrom, karena tidak adanya tuntunan dari Nabi -shollallohu alaihi wasallam-. Sedangkan bagi mereka yang sedang haid atau nifas maka ia tidak diperbolehkan untuk sholat.

Kemudian mulailah ia mengumandangkan talbiyah:

لبيك اللهم لبيك، لبيك لا شريك لبيك، إن الحمد والنعمة لك والملك، لا شريك لك

Hendaklah ia terus menerus mengumandangkan talbiyah hingga sampai ke makkah.

Ketika mendekati kota makkah sebaiknya ia mandi, sebagaimana dilakukan oleh Rasululloh -shollallohu alaihi wasallam-, dan mendahulukan kaki kanan ketika masuk masjidil  harom seraya berdo’a:

بسم الله والصلاة والسلام على رسول الله، اللهم اغفر لي ذنوبي، وافتح لي أبواب رحمتك، أعوذ بالله العظيم، وبوجهه الكريم، وبسلطانه القديم من الشيطان الرجيم

Kemudian ia menghentikan talbiyah ketika akan thowaf, ia memulai towaf dari hajar aswad, mengusapnya atau menciumnya bila memungkinkan, bila tidak memungkinkan maka cukup hanya dengan isyarat saja seraya melafalkan:

بسم الله والله أكبر, اللهم إيمانا بك، وتصديقا بكتابك، ووفاء بعهدك، واتباعا لسنة نبيك محمد صلى الله عليه وسلم

kemudian menjadikan ka’bah di sebelah kirinya dan thowaf tujuh putaran, dimulai dari hajar aswad dan diakhiri di hajar aswad pula.

Tidak di perkenankan mengusap sisi-sisi ka’bah, kecuali hajar aswad dan rukun yamani saja, karena nabi -shollallohu alaihi wasallam- tidak mengusap selain keduanya.

Dalam thowaf ini disunahkan bagi laki-laki untuk roml pada tiga putaran pertama, yaitu dengan mempercepat jalan dan mendekatkan jarak langkah kaki, disunahkan juga untuk idhthiba’ pada seluruh putaran thowaf, yaitu dengan memperlihatkan pundak kanan, dan menjadikan dua ujung rida’nya di atas pundak kiri.

Setiap melewati hajar aswad disunnahkan membaca takbir, dan ketika berada di antara rukun yamani dan hajar aswad hendaklah ia berdo’a:

ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار

Sedangkan pada sisa-sisa waktu towafnya disunnahkan untuk membaca dzikir dan doa. Tidak ada doa-doa khusus untuk setiap putaran thowaf, oleh karena itu hendaklah kita hati-hati dengan buku-buku kecil yang banyak dibaca oleh para jamaah haji, yang terdapat di dalamnya doa-doa khusus untuk setiap putaran thowaf, ketahuilah bahwasanya ini adalah bid’ah yang tidak dituntunkan oleh Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-, padahal beliau -shollallohu alaihi wasallam- telah bersabda: “Semua bid’ah adalah sesat” (HR. Muslim).

Hindarilah kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh sebagian orang yang sedang thowaf pada saat ramai, yaitu: masuk melalui pintu hijir ismail yang satu dan keluar melalui pintu hijir ismail yang lain, sehingga ia tidak memasukkan hijr ismail dalam thowafnya, ini adalah kesalahan, karena sebagian besar hijir ismail itu termasuk ka’bah. Maka barangsiapa yang masuk melalui pintu hijir ismail yang satu dan keluar melalui pintu hijir ismail yang lain, berarti ia belum mengelilingi ka’bah secara sempurna sehingga thowafnya menjadi tidak sah.

Setelah thowaf, ia sholat dua rokaat di belakang Maqom Ibrohim jika memungkinkan, tetapi jika hal tersebut tidak memungkinkan maka dibolehkan sholat di tempat manapun di dalam masjidil harom.

Kemudian menuju shofa (untuk sa’i), ketika sudah mendekati bukit shofa ia membaca:

إن الصفا والمروة من شعائر الله فمن حج البيت أو اعتمر فلا جناح عليه أن يطوف بهما ومن تطوع خيرا فإن الله شاكر عليم

dan tidak mengulangi lagi bacaan ayat ini setelahnya, kemudian menaiki bukit shofa, menghadap kiblat, mengangkat kedua tangan, dan membaca: takbir dan tahmid, kemudian membaca dzikir:

لا إله إلا الله وحده لا شريك له، له الملك وله الحمد، وهو على كل شيء قدير، لا إله الا الله وحده، أنجز وعده، ونصر عبده، وهزم الأحزاب وحده

dan berdoa setelahnya, kemudian mengulangi dzikir tersebut yang kedua kali, dan berdoa setelahnya, kemudian mengulangi dzikir tersebut yang ketiga kali (tanpa doa setelahnya).

Kemudian turun menuju bukit marwa, berjalan sampai tanda hijau (tiang hijau), dimulai dari tanda hijau hingga sampai tanda hijau berikutnya disunahkan untuk lari cepat jika memungkinkan dan tidak terganggu atau mengganggu orang lain, kemudian setelah melewati tanda hijau yang kedua ia berjalan biasa lagi hingga ke bukit marwa, sesampainya di marwa ia naik bukit tersebut, menghadap kiblat, mengangkat kedua tangan, dan melakukan amalan sebagaimana yang ia lakukan di bukit shofa, dan ini dihitung sebagai satu putaran. Kemudia dari marwa kembali ke shofa, dihitung sebagai putaran kedua, dan melakukan amalan sebagaimana yang dilakukannya pada putaran pertama.

Setelah ia menyelesaikan tujuh putaran, (dari shofa ke marwah dihitung satu putaran, dan dari marwah ke shofa dihitung putaran yang lain), maka ia memendekkan rambutnya (taqshir), dan taqshir ini meliputi seluruh bagian kepala, sehingga terlihat jelas bekas potongan tersebut di kepalanya, sedangkan wanita memotong dari setiap ujung rambutnya kurang lebih sepanjang satu ros jari, kemudian ia menjadi halal (selesai) dari ihromnya dengan sempurna, ia boleh menikmati apa yang dihalalkan Alloh baginya, seperti hubungan suami istri, memakai parfum, pakaian keseharian dsb.

Pada hari kedelapan Bulan Dzulhijjah ia berihrom untuk haji.

Hendaklah sebelumnya ia mandi, memakai parfum (pada bagian tubuhnya), memakai kain ihrom dan keluar menuju mina. Di sana ia sholat dhuhur, ashar, maghrib, isya’ dan shubuh, lima waktu, yang empat rekaat menjadi dua rekaat, dan sholatnya pada waktunya masing-masing, tidak ada menjama’ sholat di Mina, yang ada hanya menqoshor sholat.

Ketika terbit matahari tanggal sembilan, yaitu hari arofah, ia beranjak menuju arofah, kemudian turun di lembah namiroh bila memungkinkan. Apabila hal tersebut tidak memungkinkan, maka dibolehkan baginya untuk langsung menuju ke Arofah dan tinggal di sana. Ketika tergelincirnya matahari maka ia sholat dhuhur dan ashar dengan diqoshor dan dijama’ taqdim, setelah itu menyibukkan dirinya dengan dzikir, doa, membaca Alqur’an dll, yang bisa mendekatkan diri kita kepada Alloh swt.

Hendaklah ia berusaha semaksimal mungkin untuk memperbanyak doa kepada Alloh swt di penghujung hari itu, karena doa pada waktu itu sangat mustajab. Disunahkan (ketika wukuf di arofah) untuk menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangannya ketika berdoa.

Doa yang paling banyak dibaca Nabi -shollallohu alaihi wasallam- pada momen yang sangat agung ini adalah:

لا إله إلا الله وحده لا شريك له، له الملك وله الحمد وهو على كل شيء قدير

Hendaklah ia memilih dzikir-dzikir dan doa-doa yang dituntunkan oleh Nabi -shollallohu alaihi wasallam-, karena itu merupakan doa yang paling mencakup dan paling bermanfaat, (misalnya) dengan membaca:

اللهم لك الحمد كالذي نقول، وخيرا مما نقول، اللهم لك صلاتي ونسكي ومحياي ومماتي، وإليك ربي مآبي، ولك ربي تراثي

اللهم إني أعوذ بك من عذاب القبر، ووسوسة الصدر، وشتات الأمر، اللهم إني أعوذ بك من شر ما تجيء به الريح

اللهم اجعل في قلبي نورا، وفي سمعي نورا، وفي بصري نورا، اللهم إنك تسمع كلامي, وترى مكاني, وتعلم سري وعلانيتي، لا يخفى عليك شيء من أمري، أنا البائس الفقير،المستغيث المستجير، الوجل المشفق المقر، المعترف بذنوبي، أسألك مسألة المسكين، وأبتهل إليك ابتهال المذنب الذليل، وأدعوك دعاء من خضعت لك رقبته، وفاضت لك عيناه،وذل لك جسده، ورغم لك أنفه

اللهم ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار

اللهم إني ظلمت نفسي فاغفرلي إنك أنت الغفور الرحيم

Setelah matahari terbenam ia berangkat menuju muzdalifah, kemudian sholat maghrib dan isya’ dengan cara menjama’ dan menqoshor. Ia bermalam di sana sampai sholat shubuh, lalu berdoa memohon kepada Allah -azza wajalla- sampai langit menguning sekali.

Kemudian beranjak menuju ke mina. Boleh bagi mereka yang merasa berat dengan keramaian beranjak sebelum waktu fajar tiba.

Setibanya di mina, hendaklah ia bersegera melempar jumroh aqobah dahulu dengan tujuh kerikil sebelum mengerjakan yang lain, dibarengi dengan takbir pada setiap lemparannya, lalu menyembelih hewan hadyu, menggundul rambutnya (dan itu lebih afdhol daripada hanya memendekkannya, meskipun tidak mengapa jika ia hanya memendekkan saja). Wanita memendekkan ujung-ujung rambutnya kurang lebih satu ros jari. Maka dengan begitu ia menjadi halal dengan tahallul awal, dan dibolehkan baginya semua pantangan ihrom kecuali wanita.

Kemudian berangkat menuju makkah setelah memakai parfum dan mengenakan pakaian kesehariannya, lalu melaksanakan thowaf ifadhoh dengan tujuh putaran (thowaf dan sa’i ini untuk hajinya, sebagaimana thowaf dan sa’i yang telah ia dilakukan setibanya di mekah pertama kali adalah untuk umrohnya). Setelah semuanya selesai maka ia menjadi halal (dengan tahallul tsani) dari segala hal, termasuk juga wanita.

Mari kita sejenak memperhatikan apa saja yang dilakukan seorang yang berhaji ketika hari ied?

Amalan seorang yang berhaji pada hari ied adalah: melempar jumroh aqobah, lalu menyembelih hadyu, kemudian menggundul atau memendekkan rambut, lalu thowaf, kemudian sa’i.

Kelima amalan tersebut hendaklah dilakukan dengan urut, meskipun dibolehkan pula mendahulukan yang satu dan mengakhirkan yang lain, karena Nabi -shollallohu alaihi wasallam- pada hari ied juga pernah ditanya tentang mendahulukan dan mengakhirkan amalan-amalan tersebut, dan tidak ada jawaban lain dari beliau kecuali sabdanya: “kerjakanlah! tidak mengapa” (muttafaqun alaih).

Oleh karena itu, dibolehkan apabila setelah dari muzdalifah ia langsung ke makkah untuk thowaf dan sa’i, lalu ke mina untuk melempar jumroh, boleh juga ia melempar kemudian memotong rambut sebelum menyembelih hadyu, boleh juga ia melempar dan beranjak ke makkah untuk thowaf lalu sa’i, boleh juga ia melempar lalu menyembelih dan memotong rambut kemudian baru ke makkah untuk sa’i sebelum thowaf. Ini merupakan kemudahan dan rahmat dari Alloh I kepada hamba-hambanya.

Masih ada beberapa amalan haji yang harus dikerjakan setelah itu, yaitu: bermalam di mina pada malam 11, 12 dan pada malam 13 bagi yang ingin menambah, sebagaimana firman Alloh swt: “Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, Maka tiada dosa baginya. dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), Maka tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang bertakwa”. Maka boleh bagi orang yang berhaji bermalam pada malam 11 dan 12 saja, dan cukup baginya untuk bermalam pada sebagian besar waktu malam saja.

Setelah tergelincirnya matahari pada hari ke 11, orang yang berhaji melempar ketiga jumroh, dimulai dari jumroh shughro, yang letaknya berada di paling timur, ia melemparnya dengan tujuh kerikil secara berturut-turut, disertai dengan takbir pada setiap kerikilnya, lalu maju ke depan sedikit menjauh dari keramaian, menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangan untuk berdoa kepada Alloh swt dengan doa yang panjang.

Kemudian menuju jumroh wustho, melemparnya dengan tujuh kerikil secara berturut-turut, dibarengi dengan takbir pada setiap lemparannya, kemudian maju sedikit menjauh dari keramaian, berdiri menghadap kiblat, mengangkat kedua tangan dan berdoa kepada Alloh I dengan doa yang panjang pula.

Kemudian berjalan maju menuju jumroh aqobah (kubro), melemparnya dengan tujuh kerikil secara berturut-turut, dengan takbir pada setiap kerikilnya, dan tidak berhenti untuk berdoa sebagaimana dicontohkan oleh Rasululloh r.

Begitu pula pada hari ke-12, orang yang berhaji melempar tiga jumroh sama seperti hari sebelumnya.

Usai melempar pada hari ke-12, ia boleh bersegera (mengakhiri hajinya) dan keluar dari mina, boleh juga mengakhirkan perjalanannya (dengan menetap di mina) untuk bermalam lagi pada malam ke-13, kemudian melempar tiga jumroh lagi setelah tergelincirnya matahari sebagaimana hari-hari sebelumnya. Mengakhirkan seperti ini adalah lebih afdhol.

Ia tidak wajib menetap lagi di mina, kecuali apabila setelah terbenamnya matahari hari ke-12, ia masih berada di mina. Apabila hal itu terjadi, maka wajib baginya menetap untuk bermalam lagi dan melempar tiga jumroh pada esok harinya. Lain halnya jika setelah terbenam matahari dia masih di mina, tapi bukan karena kehendaknya, maka ia tidak diwajibkan untuk bermalam lagi di mina, karena keterlambatannya untuk keluar dari mina itu bukan dari kehendaknya sendiri.

Tidak diperbolehkan melempar tiga jumroh tersebut sebelum tergelincirnya matahari pada hari 11, 12 dan 13, karena Nabi -shollallohu alaihi wasallam- tidak pernah melempar kecuali setelah tergelincirnya matahari, padahal beliau telah bersabda: “Ambillah tata cara manasik hajimu dariku!” (HR. Muslim), begitu pula para sahabat dahulu berhenti untuk menunggu hingga tergelincirnya matahari, ketika matahari telah tergelincir baru mereka mulai melempar, seandainya dibolehkan melempar sebelum itu tentunya Nabi r telah menjelaskannya kepada umatnya, baik dengan perbuatannya atau sabdanya atau persetujuannya.

Akan tetapi apabila melempar saat ramai atau di bawah terik matahari dirasa berat olehnya, maka boleh mengakhirkan waktu melempar hingga malam hari, karena malam hari juga waktu untuk melempar, dan tidak ada dalil yang menjelaskan tidak sahnya melempar di malam hari, karena Nabi r telah menjelaskan awal waktu melempar dan tidak menjelaskan akhir waktu melempar, dan pada dasarnya sesuatu yang datangnya mutlak ia akan tetap dihukumi mutlak sehingga datang dalil yang merincinya baik dari segi waktu maupun sebabnya.

Hendaklah orang yang berhaji berhati-hati dalam hal melempar jumroh, karena ada sebagian orang yang menyepelekannya, mereka mewakilkan dirinya dalam melempar padahal mereka mampu untuk melempar sendiri, tindakan tersebut tidak boleh dan tidak sah, karena Allah I telah berfirman dalam kitabNya (yang artinya): “sempurnakanlah haji dan umroh kalian karena Alloh”, dan melempar adalah termasuk amalan haji, oleh karena itu, kita tidak boleh menyepelekannya, begitu pula Rosululloh r tidak memberi izin kepada keluarganya yang lemah untuk mewakilkan dirinya dalam melempar, akan tetapi mengizinkan mereka untuk meninggalkan Muzdalifah pada akhir malam, supaya mereka bisa melempar sendiri sebelum datangnya banyak orang.

Lain halnya jika keadaannya darurat, maka dibolehkan mewakilkan seseorang untuk melempar, misalnya jika orang tersebut dalam keadaan sakit atau lansia, sehingga tidak memungkinkan baginya untuk pergi ke tempat melempar, atau wanita hamil yang khawatir dengan keselamatan dirinya ataupun anaknya, maka dalam keadaan seperti ini, ia boleh mewakilkan dirinya dalam melempar.

Wajib bagi kita mengagungkan syiar-syiar Alloh dan tidak boleh menyepelekannya, serta berusaha mengerjakan sendiri apa yang kita mampui, karena semua itu adalah ibadah, sebagaimana sabda Rosul -shollallohu alaihi wasallam-: “Sesungguhnya tujuan disyariatkannya thowaf, sai dan melempar jumroh adalah untuk menegakkan dzikrullah (HR. Abu Dawud dan Tirmidzy).

Apabila telah menyempurnakan melempar jumrohnya, maka ia tidak diperkenankan meninggalkan makkah untuk pulang ke kampung halamannya kecuali setelah melaksanakan thowaf wada’, sebagaimana diterangkan dalam hadits ibnu Abbas ra, ia berkata: ketika orang-orang hendak pulang dari segala arah, Nabi -shollallohu alaihi wasallam-  bersabda: “Jangan sampai ada yang pulang sebelum menjadikan ka’bah perjumpaan akhirnya” (HR. Muslim).

Kecuali bagi perempuan yang sedang haid atau nifas dan ia telah thowaf ifadhoh, maka gugurlah kewajiban thowaf wada’ baginya, sebagaimana diterangkan dalam hadits Ibnu Abbas: “semua orang diperintah agar menjadikan akhir perjumpaannya adalah ka’bah,  kecuali bagi mereka yang haid ada keringanan baginya” (muttafaqun alaih). Dalam hadits lain Nabi -shollallohu alaihi wasallam- pernah ditanya tentang shofiyyah yang  telah usai melakukan thowaf ifadhoh (tapi belum thowaf wada’ karena kedahuluan datangnya haid), maka beliau menjawab: “Kalau begitu, silahkan ia pergi” (muttafaqun alaih).

Diwajibkan menjadikan thowaf tersebut sebagai amalan yang paling akhir, maka sebenarnya apa yang dilakukan sebagian orang ketika pergi ke makkah untuk melakukan thowaf wada’ kemudian kembali ke mina dan melempar jumroh, kemudian langsung pulang meninggalkan makkah dari sana, adalah tindakan yang salah, dan tidak sah towaf wada’nya, karena mereka tidak menjadikan ka’bah sebagai perjumpaan akhirnya, tetapi malah menjadikan tempat jumroh sebagai perjumpaan akhirnya.

Ringkasan amalan-amalan umroh:

  1. Mandi sebagaimana mandi junub dan memakai parfum.
  2. Mengenakan pakaian ihrom, selendang dan rida’ bagi laki-laki, sedang untuk perempuan boleh mengenakan pakaian apa saja asalkan mubah.
  3. Mengumandangkan talbiah hingga towaf.
  4. Thowaf dengan tujuh putaran, dimulai dari hajar aswad dan diakhiri dengannya.
  5. Sholat dua rokaat dibelakang makam ibrohim.
  6. Sai di shofa dan marwa sebanyak tujuh putaran, dimulai dari shofa dan berakhir di marwa.
  7. Menggundul atau memendekkan rambut untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan hanya dengan memendekkan rambutnya saja.

AMALAN-AMALAN IBADAH HAJI:

Hari pertama tanggal 8 dzul qo’dah:

  1. Berihrom haji dari tempat tinggalnya, maka hendaklah ia mandi, memakai parfum dan mengenakan pakaian ihrom, kemudian mengucapkan:

لبيك الله حجا، لبيك اللهم لبيك، لبيك لا شريك لك لبيك، إن الحمد والنعمة لك والملك، لا شريك لك

  1. Menuju mina, dan tinggal di sana sampai terbitnya matahari tanggal 9, di sana ia sholat dhuhur, ashar, maghrib, isya’ dan shubuh pada waktunya masing-masing dengan menqoshor yang empat rokaat.

Amalan hari kedua tanggal 9:

  1. Pergi ke arofah setelah terbitnya matahari, sholat dhuhur dan ashar dengan cara dijama’ dan diqoshor, dan turun di lembah namiroh sebelum tergelincirnya matahari apabila memungkinkan.
  2. Menyibukkan dirinya setelah sholat dengan dzikir dan doa, dengan menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangannya. Ia menetap di sana sampai terbenamnya matahari.
  3. Setelah matahari terbenam, ia menuju ke  muzdalifah, kemudian sholat maghrib 3 rokaat dan isya’ 2 rokaat, dan bermalam di sana sampai terbit fajar.
  4. Sholat shubuh setelah terbit fajar, kemudian menyibukkan dirinya dengan dzikir dan doa sampai langit menguning sekali.

Amalan hari ketiga, hari raya qurban:

  1. Sesampainya di mina, ia pergi menuju jumroh aqobah dan melemparnya dengan tujuh kerikil secara berturut-turut, dan membaca takbir pada setiap lemparannya.
  2. Menyembelih hadyu bagi yang punya kewajiban tersebut.
  3. Menggundul atau memendekkan rambut, dan bertahallul awal, sehingga ia boleh mengenakan baju dan parfum, juga halal baginya semua yang diharamkan ketika ihrom kecuali perempuan.
  4. Pergi ke makkah untuk thowaf  ifadhoh, yaitu thowaf haji, dan sai diantara shofa dan marwa untuk hajinya apabila memilih cara Tamattu’. Sai juga diwajibkan bagi mereka yang hajinya selain Tamattu’ apabila mereka belum sai setelah thowaf qudum. Dengan begitu ia telah menjadi tahallul tsani, dan halal baginya semua yang diharamkan ketika ihrom termasuk juga perempuan.
  5. Kembali ke mina dan bermalam di sana pada malam ke-11

Amalan hari keempat, tanggal 11:

  1. Melempar tiga jumroh, jumroh ula kemudian wustho kemudian aqobah, setiap jumroh dengan tujuh kerikil, melemparnya setelah tergelincirnya matahari, tidak boleh sebelumnya, dan jangan lupa berhenti untuk berdoa setelah melempar jumroh ula dan wustho.
  2. Bermalam di mina pada malam ke-12.

Amalan hari kelima, tanggal 12:

  1. Melempar tiga jumroh sebagaimana dilakukan pada hari keempat.
  2. Meninggalkan mina sebelum matahari terbenam apabila memilih ta’jil (bersegera pulang), atau bermalam lagi di sana bagi yang memilih ta’akhkhur (mengakhirkan pulang).

Amalan hari keenam, tanggal 13:

Hari ini khusus bagi mereka yang memilih taakhkhur (mengakhirkan pulang), maka ia melakukan:

  1. Melempar tiga jumroh sebagaimana dilakukan pada dua hari sebelumnya.
  2. Setelah itu meninggalkan mina.

Amalan yang terakhir adalah thowaf wada’ ketika hendak safar, wallahu a’lam.

Macam-macam manasik haji:

Manasik haji memiliki tiga cara: tamattu’, ifrod dan qiron.

Tamattu’ adalah berihrom dengan umroh saja di bulan haji, ketika sampai makkah ia thowaf dan sa’i untuk umroh, kemudian menggundul atau memangkas rambut. Pada hari tarwiyah, tanggal 8 dzulhijjah ia berihrom untuk haji dan menjalankan semua amalan-amalan haji.

Ifrod adalah berihrom dengan haji saja, ketika sampai makkah ia thowaf qudum dan sai untuk haji, ia tidak menggundul atau memangkas, tidak juga tahallul dari ihromnya, ia tetap dalam keadaan ihromnya dan baru tahallul setelah melempar jumroh aqobah pada hari raya, dan boleh baginya mengakhirkan sai sampai setelah thowaf haji.

Qiron adalah berihrom dengan umroh dan haji secara bersamaan, atau berihrom dengan umroh dahulu kemudian masuk dengan niat haji sebelum memulai thowafnya.

Semua amalan manasik qiron dan ifrod adalah sama, hanya saja manasik qiron ada hadyu sedangkan manasik ifrod tidak ada hadyu.

Alih bahasa selesai di madinah, 19 november 2008. oleh: Musyafa' Abu Abdillah ad-dariny.
Komentar
  1. Rahmat Kedai berkata:

    Izin copas pak, buat simpanan di komputer, bukan untuk di posting kok ^^b

    Kedai

    • addariny berkata:

      Subhanalloh… silahkan aja co-past… untuk diposting juga ga pa2… malah sangat berterima kasih ikut nyebarin hasil kerja ana… yang penting lebih banyak orang yang bisa mengambil manfaat darinya… kita akan sama2 dpt pahala… (mohon ketika posting, sekalian sertakan alamat blog kami, thanks…) wassalam…

  2. taufiq berkata:

    Assalamu’alaikum..

    Mau tanya ustadz, saya pernah mendengar bahwa bacaan thowaf
    اللهم إيمانا بك dst bukan berasal dari hadits rasululloh. Bagaimana pengamalannya?

    Kemudian, adakah doa waktu berjalan atau berlari pada saat Sai yang dituntunkan?

    Selain itu, bagaimana jika kita menjamak sholat waktu di Mina? Misalnya waktu mau ke Musdzalifah menjamak taqdim, karena takut kemalaman sampai tujuan. Atau pada waktu mau melempar jumroh kita sudah menjamak qoshor taqdim, agar pada saat pelemparan kita dapat sampai tujuan pada pas waktu ashar atau keadaan diharapkan tidak terlalu ramai.

    Jazakallohu khairan..

    • taufiq berkata:

      Afwan ustadz, maksud saya bukan menjamak sholat di Mina, tetapi di Arofah. Setahu saya, sunnahnya menjamak qoshor sholat maghrib dan ‘isya di Muzdalifah.
      Karena dikhawatirkan sampai tujuan larut malam, maka sebelum berangkat sudah menjamak qoshor maghrib dan ‘isya di Arofah.

      Selain itu, karena diharapkan pada saat waktu sholat ashar keadaan tempat pelemparan jumroh tidak ramai, maka ditempuh cara dengan menjamak qoshor taqdim dzuhur dan ashar terlebih dahulu sebelum berangkat melempar jumroh. Padahal pemahaman saya, tidak ada jamak di Mina.

      Bolehkah hal tersebut dilakukan?
      Jazakallohu khairan..

    • addariny berkata:

      Waalaikum salam warohmatulloh…
      Memang hal itu bukan berasal dari hadits Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-… tapi ada sebagian sahabat yang mengamalkannya… dan tidak ada sahabat lain yang mengingkarinya… ditambah lagi hal itu bukan masalah ijtihadiyah, jadi kita harus meyakini bahwa sahabat itu pernah mendapatkannya dari Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- sebagaimana diterangkan oleh para ulama… wallohu a’lam…

      Tidak ada doa tertentu waktu berjalan atau berlari pada saat sai… silahkan membaca doa apa saja yang antum inginkan… wallohu a’lam…

      Menjamak sholat pada umumnya boleh jika ada kebutuhan untuk melakukannya… baik di mina atau di tempat lain… wallohu a’lam…

      waiyyaak…

  3. stainless tanks berkata:

    Haji memang merupakan momen pertemuan akbar bagi umat Islam seluruh dunia. Allah Subhanahu wa Ta’ala pertemukan mereka semua di waktu dan tempat yang sama. Sehingga terjalinlah suatu interaksi, kedekatan dan saling merasakan satu dengan sesamanya, yang dapat membuahkan kuatnya tali persatuan umat Islam, dan terwujudnya kemanfaatan bagi urusan agama dan dunia mereka.

  4. muhammad taufik berkata:

    Assalaamu ‘alaikum ust, semoga Allah tetap memberikan barokah dan kesehatan pada ust, saya ada beberapa pertanyaan , semoga ust berkenan menjawabnya.

    Pertanyaan 1: Ust, saya mau menanyakan kitab ushul al-fiqh karya Muhammad Abu Zahrah (edisi arab), sedangkan dalam edisi Indonesia “Usul Fiqih” karya Prof.Muhammad Abu Zahrah diterbitkan oleh penerbit Pustaka Firdaus, Jl.Siaga I No.3, Pasar Minggu Jakarta 12510, apakah kitab ini layak dijadikan pegangan dalam mempelajari ushul fiqh?

    Saya ringkaskan sedikit ust,di dalam hal.199-201(edisi Indonesia) disebutkan tentang ta’wil ada dua macam yaitu: 1. Ta’wil terhadap hadits dan ayat-ayat Al Quran yang bisa menimbulkan pengertian tasybih. Umpama menta’wili kata tangan dengan kekuasaan di dalam firman Allah surat al-fath ayat 10 atau kedermawanan seperti dalam surat al maidah ayat 64

    Dia melanjutkan “ini semua merupakan persoalan tafsir yang mutlak wajib dilakukan demi kesucian dzat Allah dari keserupaan dengan makhluk.”

    2. Ta’wil terhadap nash yang khusus berkenaan dengan hukum taklif.

    Di antara bentuk ta’wil ini adalah takhsish. Misalnya secara umum Allah menghalalkan jual beli dalam surat al-baqarah ayat 275

    Sementara itu Nabi Muhammad melarang orang untuk menjemput(sebagai tengkulak-pent.)orang-orang pedalaman yang membawa dagangan. Sebagai konsekuensi dari larangan ini, sebagian bentuk jual beli adalah haram. Dengan demikian larangan ini merupakan takhsish terhadap ayat yang membolehkan itu..

    —–Pertanyaan: Bagaimana pendapat ust dari keterangan di atas, kemudian kitab ushul fiqh apa yang bagus dijadikan pegangan selain kitab al-ushul min ilmil ushul, apakah kitab ushul fiqh karya Abdul Wahhab Kholaf mengacu kepada akidah salaf?

    Pertanyaan ke-2:ust, bagaimana posisi duduk kita jika imam sholat dalam sholat yang dua rakaat seperti dalam sholat shubuh duduknya tawaruk, apakah kita mengikuti imam atau apakah kita duduk iftirosy sendiri? Karena “ju’ilal imaamu liyu’-tamma”

    Pertanyaan ke-3 : Apakah boleh&sah sholat kita, kita membaca sholawat dalam tasyahud awal hanya dengan lafadz “Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ’ala aali muhammad”, tidak sampai akhir (Innaka hamiidun majiid) karena terkadang imam itu tidak lama dalam duduk tasyahud awal sehingga kadang sholawat tidak sampai selesai?

    Jazaakumullah khoiron katsiroo

    (dari akh Muhammad taufik)

    • addariny berkata:

      Waalaikum salam warohmatulloh…
      1. Perlu diketahui, bahwa ilmu ushul fikih termasuk ilmu yang banyak dimasuki oleh akidah mu’tazilah dan asy’ariyah, itu disebabkan ada masalah2 yang dibahas dalam ushul fikih sangat berkaitan erat dengan masalah akidah… Oleh karena itu, ana sarankan untuk pemula, pilihlah kitab2 yang ditulis oleh ulama2 sekarang yang benar2 diketahui berakidah ahlus sunnah sebagaimana akidahnya para salaful ummah…

      2. Syeikh Abu Zahroh memang terkenal ahli dalam bidang ushul fikih, tapi ada beberapa catatan dalam hal akidahnya… buku2 beliau tidak cocok untuk pemula, khususnya bagi yang kurang paham masalah akidah…

      3. Tentang penyataan beliau yang antum nukil…
      Yang pertama ana tidak setuju, karena Nash2 yang menerangkan tentang nama dan sifat Alloh harus kita maknai dengan apa adanya (dengan tanpa adanya unsur menyerupakan, menafikan atau merubahnya), sebagaimana akidah ahlus sunnah wal jama’ah…
      Yang kedua ana setuju, karena ta’wil itu ada dua: ta’wil yang fasid (karena tidak berdasar dalil yang benar), ada juga ta’wil yang benar (karena adanya dalil yang benar yang mendasarinya) wallohu a’lam…

      4. Tentang duduk dalam sholat shubuh, ana lebih condong ke pendapatnya syafi’iyyah, mengatakan disunnahkan untuk tawarruk, wallohu a’lam.

      Dalam hadits disebutkan:
      فإذا جلس في الركعة الأخيرة قدم رجله اليسرى وجلس على مقعدته
      “Kemudian jika duduk pada rokaat terakhir, Beliau memajukan kaki kirinya dan duduk di atas pantatnya (yakni duduk tawarruk)” (HR. Abu Dawud: 824, dishohihkan oleh Albani. Lihat jg di shohih bukhori: 785)

      Dalam riwayat lain dikatakan:
      حتى إذا كانت السجدة التي فيها التسليم أخر رجله اليسرى وقعد متوركا على شقه الأيسر
      “Hingga jika sampai pada duduk tasyahud yang ada salamnya, Beliau menyingkirkan kaki kirinya (dari pantat), dan duduk tawarruk di atas bagian kiri (tubuh)-nya” (HR. Abu Dawud:627, dishohihkan oleh Albani)

      Dalam riwayat lain:
      حتى إذا كانت السجدة التي تكون خاتمة الصلاة رفع رأسه منها وأخر رجله وقعد متوركا على رجله صلى الله عليه و سلم
      Hingga ketika mengangkat kepala dari sujud, yang (di posisi itu) ada penutup sholatnya, beliau duduk dengan posisi tawarruk -shollallohu alaihi wasallam-. (HR. Ibnu Hibban: 1870, dishohihkan oleh Syuaib Al-Arna’uth)

      Dalam hadits yang lain lagi:
      كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا كان في الركعتين اللتين تنقضي فيهما الصلاة أخر رجله اليسرى وقعد على شقه متوركا ثم سلم
      “Dahulu Nabi -shollallohu alaihi wasallam- jika duduk di dua rokaat yang sholatnya berakhir disitu, Beliau menyingkirkan kaki kirinya (dari pantatnya), dan duduk tawarruk di atas sisi (kiri) badannya, kemudian salam”. (HR. Nasa’i: 1245, dishohihkan oleh Albani)

      5. Tentang sholawat dalam tasyahud boleh hanya dengan lafal yang antum sebutkan, wallohu a’lam…

      waiyyaka jazakallohu khoiro, wabaroka fik…

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s