Bab: Suami yang mencerai istrinya ketika haid
(848) Nafi’ mengatakan: Ibnu Umar pernah menceraikan istrinya saat sedang haid. Lalu Umar menanyakan hal itu kepada Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-. Maka beliau menyuruhnya untuk merujuknya kembali dan menangguhkan talaknya hingga si istri haid lagi, kemudian menunggu lagi hingga si istri suci. Setelah itu, ia baru boleh mentalaknya asalkan belum menggaulinya. Itulah masa iddah yang diperintahkan oleh Allah Taala bagi wanita yang diceraikan.
Nafi’ mengatakan: (Setelah kejadian itu), jika Ibnu Umar ditanya tentang hukum orang yang mentalak istrinya ketika haid, ia menjawab: “Apabila kamu baru mentalaknya satu atau dua kali, maka sungguh Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-, telah menyuruh orang yang melakukan hal itu untuk merujuknya, lalu menangguhkan talaknya sampai si istri haid lagi, lalu menunggu lagi hingga si istri suci. Setelah itu, ia baru boleh mentalaknya asalkan belum menggaulinya”.
Tetapi apabila ia sudah mentalaknya sebanyak tiga kali, maka (Ibnu Umar mengatakan): “Sungguh kamu telah melanggar syariat Tuhanmu dalam mentalak istrimu, dan sekarang ia sudah bukan istrimu lagi!”.[1] (849) Ibnu Sirin mengatakan: “Selama dua puluh tahun lamanya, aku dapat hadits dari orang yang tidak aku sangsikan (ke-tsiqoh-annya), bahwa Ibnu Umar telah mentalak istrinya ketika haid sebanyak tiga kali, lalu ia diperintah untuk merujuknya. Aku tidak mempermasalahkan keterangan mereka itu, walaupun aku tidak mengerti maksud hadits tersebut.
Sampai akhirnya aku bertemu dengan Abu Ghollab ibnu Yunus ibnu Jubair al-Bahily, orang yang terpercaya dalam bidang hadits. Ia mengatakan kepadaku, bahwa ia telah menanyakan langsung hal ini kepada Ibnu Umar. Ibnu mengatakan kepadanya, bahwa ia telah mentalak istrinya saat haid, hanya dengan sekali talak, lalu ia diperintah untuk merujuknya.
Abu Ghollab bertanya: “Apa talak itu dianggap telah jatuh?” Ibnu Umar menjawab: “Ya… Apa talak bisa dicabut, meskipun ia lemah atau karena tindakan bodoh?!”.
Bab: Talak tiga[2] di zaman Rosululloh –shollallohu alaihi wasallam– .
(850) Ibnu Abbas mengatakan: Pada masa Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-, Abu Bakar dan dua tahun pemerintahan Umar, talak tiga itu dianggap satu.
Tapi kemudian Umar mengatakan: “Sungguh, (sekarang) banyak orang tergesa-gesa (sembrono), dalam urusan yang orang-orang dahulu penuh hati-hati di dalamnya. Maka alangkah baiknya jika kita jatuhkan tiga talak kepada mereka “.
Akhirnya ia pun menjatuhkan tiga talak kepada mereka.
Bab: Apabila orang mentalak (ba’in) istrinya, lalu mantan istri tersebut menikah dengan pria lain, maka ia tidak boleh kembali lagi ke suami pertamanya, jika suami kedua belum menggaulinya.
(851) Dari ‘Aisyah -istri Rosululloh shollallohu alaihi wasallam- : Setelah Rifa’ah mentalak istrinya dengan talak ba’in, mantan istrinya itu menikah dengan Abdurrohman bin Zubair.
(Suatu hari) wanita itu mendatangi Rosululloh –shollallohu alaihi wasallam- dan bertanya: “Wahai Rosululloh! aku adalah mantan istrinya Rifa’ah… Setelah ia menjatuhkan talak terakhirnya kepadaku, akupun menikah dengan Abdurrohman bin Zubair… Sungguh demi Alloh, apa yang dimilikinya hanyalah seperti ujung kain ini!”, sambil ia memegangi ujung jilbabnya.
Maka Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- pun tersenyum, dan menanyakan: “Sepertinya kamu ingin kembali lagi bersama Rifa’ah?… Itu tidak boleh, kecuali setelah ia (Abdurrohman) mencicipi kenikmatan darimu dan kamu juga mencicipi kenikmatan darinya!”.
Pada saat itu, Abu Bakar duduk di samping Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-, sedangkan Kholid bin Sa’id bin ‘Ash duduk di luar pintu hujroh, karena tidak diizinkan masuk.
Kholid setelah itu memanggil Abu Bakar, ia mengatakan: “Kenapa kamu tidak melarang wanita itu mengatakan hal seperti itu di hadapan Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-
?!”
Bab: Tentang mengharamkan sesuatu, dan firman Alloh (yang artinya): “Wahai Nabi! Mengapa engkau mengharamkan apa yang dihalalkan Alloh bagimu?!” dan adanya perbedaan riwayat di dalamnya.
(852) Ibnu Abbas mengatakan: Apabila seseorang mengharamkan dirinya (untuk menggauli) istrinya, maka hal itu merupakan sumpah yang harus ia bayar kafaratnya. Kemudian Ibnu Abbas membaca (ayat yang artinya) “Sungguh telah ada pada (diri) Rosululloh itu suri teladan yang baik bagimu”.
(853) Aisyah mengisahkan: Suatu hari Nabi -shollallohu alaihi wasallam- pernah mampir dan meminum madu di rumah Zainab binti Jahsy. Lalu aku dan Hafshah sepakat, siapa pun di antara kami nanti ditemui Nabi -shollallohu alaihi wasallam-, maka ia harus mengatakan kepada beliau: “Sungguh aku mencium darimu bau maghofir (pohon bergetah, rasanya manis, tapi baunya tidak sedap), apa engkau baru saja memakannya?”.
Lalu beliau pun menemui salah seorang dari kami, dan segeralah ia lontarkan pertanyaan tersebut kepada beliau.
Beliau menjawab: “Tidak! Melainkan aku baru saja minum madu di rumah Zainab binti Jahsy dan aku tidak akan mengulanginya lagi”. Maka, turunlah firman Allah (yang artinya): “Mengapa engkau mengharamkan apa yang dihalalkan Alloh kepadamu…?!” sampai firman-Nya: “Jika kamu berdua bertobat…”, yakni Aisyah dan Hafshah.
Adapun firman Allah (yang artinya): “Dan ingatlah ketika secara rahasia Nabi membicarakan suatu peristiwa kepada salah seorang istrinya…” adalah berkenaan dengan sabda beliau: “Melainkan aku baru saja minum madu…”.
(854) Aisyah mengatakan: “Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- adalah termasuk orang yang suka manis-manis dan madu. Setelah sholat ashar biasanya beliau mampir ke rumah istri-istrinya.
Ketika itu beliau mampir ke rumah Hafshoh lebih lama dari biasanya. Dan Aku pun menanyakan hal itu (kepada orang). Katanya ia baru dapat hadiah madu satu ‘ukkah (wadah kecil terbuat dari kulit, khusus untuk nyimpan mentega) dari seorang kerabat perempuannya, dan ia suguhkan kepada Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- satu minuman darinya.
Aku (Aisyah) mengatakan: “Demi Alloh, aku akan rencanakan sesuatu untuk beliau!” Kemudian aku ceritakan rencana itu kepada Saudah, aku mengatakan: Apabila beliau datang dan mendekatimu, katakanlah kepadanya: “Wahai Rosululloh, apa engkau telah makan maghafir?”(pohon bergetah, rasanya manis, tapi baunya tidak sedap). Tentu beliau akan menjawab tidak. Maka tanyakan lagi: “lantas bau apa ini?!” Karena Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- adalah orang yang sangat tidak suka jika ada bau tidak sedap dari dirinya, tentu ia akan mengatakan: “Hafshoh telah memberiku minuman madu”. Maka katakanlah: “(Berarti) lebahnya yang makan ‘Urfuth!”. (pohon yang baunya tidak sedap)
(Aisyah mengatakan): “Aku juga akan mengatakan hal yang sama kepada beliau, dan kamu hai shofiyah, katakan juga hal yang sama kepada beliau!”. Kemudian masuklah beliau ke rumah Saudah.
Aisyah mengatakan: Saudah bercerita kepadaku: “Sungguh demi dzat yang tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Dia, karena takutnya aku kepadamu, hampir saja aku menyapa beliau dengan kata-kata yang kau ajarkan kepadaku, padahal beliau masih di depan pintu!”.
Ketika Rosululloh mendekatinya, ia mengatakan: “Wahai Rosululloh, apa engkau makan Maghofir?”, beliau menjawab: “Tidak”. Saudah bertanya lagi: “Lantas bau apa ini?”. Beliau menjawab: “Hafshoh telah memberiku minuman madu”. Ia menimpali lagi: “(Berarti) lebahnya yang makan ‘Urfuth“.
Setelah itu, beliau masuk ke rumahku (Aisyah), dan aku katakan hal yang sama kepadanya. Beliau juga masuk ke rumah Shofiyah, dan kata-kata yang sama juga dilontarkan shofiyah kepadanya.
Sampailah saatnya beliau masuk ke rumah Hafshoh lagi, seperti biasa ia menawarkan madu itu kepada beliau: “Apa aku buatkan minuman dari madu lagi?”. Beliau menjawab: “Tidak usah, aku tidak menginginkannya”.
Aisyah mengatakan: Saudah bergumam, “Subhanalloh! demi Alloh, (berarti) kita telah mengharamkannya!”
Aisyah mengatakan: Lalu Aku katakan kepada saudah, “Diamlah!”.
Bab: Seorang suami yang memberikan pilihan kepada istrinya
(855) Jabir ibnu Abdillah mengatakan: Suatu hari, Abu Bakar minta ijin untuk masuk ke rumah Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-. Ia melihat banyak orang duduk di depan pintu rumah beliau, karena belum dapat ijin masuk.
Lalu beliau memberi ijin kepada Abu Bakar, dan masuklah dia. Kemudian Umar juga datang meminta ijin masuk, dan beliau juga mengijinkannya. Umar mendapati Rosululloh duduk dikitari para istrinya, mereka diam karena dilanda kesedihan.
Umar mengatakan: “Sungguh aku akan mengatakan sesuatu, yang bisa membuat Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- tersenyum!”. Ia mengatakan: “wahai Rosululloh, bagaimana seandainya engkau tahu salah seorang istrimu meminta nafkah kepadaku, lalu aku memukulnya?”. Maka tersenyumlah Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-. Beliau mengatakan: “Seperti kau lihat, mereka sekarang di sekelilingku meminta (tambahan) nafkah kepadaku”.
Maka Abu bakar pun mendatangi Aisyah memukulnya, begitu juga Umar mendatangi Hafshoh dan memukulnya. Keduanya mengatakan: “Kamu meminta kepada Rosululloh sesuatu yang tidak dimilikinya?!”. Mereka menjawab: “Demi Alloh, sama sekali kami tidak pernah meminta kepada Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- apa yang tidak dimilikinya!”.
Kemudian beliau menjauhi mereka selama sebulan atau 29 hari, dan turunlah ayat ini (artinya): “Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu… sampai firmanya… pahala yang besar bagi siapa yang berbuat baik diantara kamu” (al-ahzab 28-29).
Maka beliau memulainya dari Aisyah, beliau mengatakan: “Wahai Aisyah! aku ingin memberimu pilihan, hendaklah kamu jangan tergesa-gesa dalam memutuskannya sebelum meminta pertimbangan kepada kedua orang tuamu!”
Aisyah bertanya: “Apakah itu, wahai Rosululloh?” Kemudian beliau membaca ayat itu.
Aisyah pun menimpali: “Apakah untuk memilihmu, wahai Rosululloh! aku harus meminta pertimbangan kepada kedua orang tuaku?! Tidak perlu, aku (sekarang juga) memilih Alloh, Rosul-Nya dan (kebahagiaan) negeri akhirat! Dan aku mohon kepadamu, agar tidak memberitahukan pilihanku ini kepada istri-istri yang lain, siapapun orangnya!”.
Rosul -shollallohu alaihi wasallam- mengatakan: “Aku tetap akan memberitahukan pilihanmu ini kepada semua istriku yang menanyakannya, karena Alloh tidak mengutusku untuk memberatkan ataupun mencari kesalahan (umat), akan tetapi Dia mengutusku sebagai pemudah sekaligus pendidik (umat).
(856) Masruq mengatakan: “Tidak menjadi masalah bagiku, untuk memberikan pilihan kepada istriku sekali, seratus kali, atau bahkan seribu kali, setelah dia memilihku. Karena aku telah menanyakan (hal ini) kepada Aisyah, dan ia menjawab: “Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- telah memberikan pilihan kepada kami, apa itu dianggap sebagai talak?! (tentunya tidak)”.
Bab: Tentang Firman-Nya (yang artinya): “Tetapi apabila kamu berdua saling bantu-membantu menyusahkan Nabi…” (at-tahrim: 4)
(857) Abdulloh bin Abbas berkata: “Selama setahun, aku ingin menanyakan makna satu ayat kepada Umar bin Khottob, tetapi hal itu urung aku lakukan karena segan kepadanya. Sampai akhirnya ia berangkat haji, maka aku pun (berinisiatif) berangkat bersamanya.
Di tengah perjalanan pulang, dia berhenti untuk keperluannya mengambil pohon Arok (untuk siwak), aku menunggunya hingga ia selesai. Kemudian aku berjalan lagi bersamanya, dan menanyakan kepadanya: “Wahai amirul mukminin! Siapakah yang dimaksud dengan dua istri Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- yang saling bantu-membantu menyusahkan beliau?”.
Ia menjawab: “Itu adalah Hafshoh dan Aisyah”.
Akupun mengatakan: “Demi Alloh, sebenarnya sudah sejak setahun lamanya aku ingin menanyakan hal ini kepadamu, tapi urung aku lakukan karena segan kepadamu!”.
Ia berkata: “Tidak usah begitu, tanyakanlah kepadaku apa yang menurutmu aku mengetahuinya! (tentu) aku akan memberitahumu bila aku mengetahuinya!”.
Ia meneruskan ucapannya: “Sungguh demi Alloh, di masa jahiliyah dulu kami tidak menganggap wanita sebagai apa-apa, hingga Alloh menurunkan ayat-ayat tentang mereka, dan memberikan bagian warisan kepada mereka”.
Ia berkata lagi: Suatu saat, ketika aku sedang memikirkan sesuatu, tiba-tiba datang istriku mengatakan: “Alangkah baiknya jika kamu kerjakan ini dan itu!” Maka aku membalasnya: “Apa urusanmu, kenapa juga kamu di sini, dan untuk apa kamu ikut campur masalahku!” Ia pun menimpali: “Sungguh aneh kamu ini, wahai ibnul khottob! Kamu (sama sekali) tak mau diberi masukan, padahal putrimu saja (pernah) memberi masukan kepada Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- , sampai beliau marah!”.
Umar mengatakan: “Akupun mengambil rida’ku dan keluar untuk menemui Hafshoh, aku menanyakan kepadanya: “Wahai putriku, apa benar kamu (pernah) memberi masukan kepada Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- sampai beliau marah?”
Hafshoh menjawab: “Demi Alloh, kami biasa memberi masukan kepada beliau”
Aku mengatakan: “Bukankah kamu tahu, bahwa aku memperingatkanmu akan siksaan Alloh dan kemarahan Rosul-Nya! Wahai putriku, janganlah teperdaya oleh orang ini (yakni Aisyah), yang kau kagumi kecantikan dan kecintaan beliau kepadanya!”
Kemudian aku keluar untuk menemui Ummu Salamah yang masih kerabatku, guna memperingatkannya. Tapi ia malah membalas ucapanku: “Sungguh aneh kamu ini, wahai Ibnul Khottob! kamu telah ikut campur dalam segala urusan, hingga kamu ingin ikut campur dalam kehidupan Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- dengan para istrinya!”
Umar mengatakan: “Sungguh ucapannya itu telah menghentikan sebagian rencanaku. Kemudian aku meninggalkannya”.
(Umar bercerita lagi): Dahulu aku pernah punya teman dari kaum Anshor, jika aku tidak hadir (di majlis Rosululloh shollallohu alaihi wasallam) ia yang memberitahuku apa yang didapatnya, sebaliknya jika ia tidak hadir, aku yang memberitahu dia apa yang ku dapat.
Pada saat itu kami mengkhawatirkan datangnya Raja Ghossan, yang katanya mereka akan menyerang kami. Oleh karenanya kami terus memikirkannya.
Suatu saat temanku dari kaum Anshor itu datang mengetuk pintu sambil mengatakan: “Buka, buka!” aku bertanya: “Apakah Raja Ghossan itu datang?”. Ia menjawab: “Lebih buruk dari itu, Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- menjauhi istri-istrinya”. Aku mengatakan: “Celakalah Hafshoh dan Aisyah!”
Kemudian aku mengambil baju dan keluar, hingga aku datang mendapati Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- di kamarnya yang tinggi, ada tangga dari kayu pohon kurma untuk menaikinya, dan ada budaknya beliau berkulit hitam menjaga di depan tangga. Aku mengatakan kepadanya: “Aku ini Umar” maka ia pun mengijinkanku (untuk masuk).
Umar mengatakan: “Kemudian aku mengisahkan kejadian itu kepada Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-. Ketika aku beritahu ucapan Ummu Salamah, beliau pun tersenyum.
Sungguh, ketika itu beliau berada di atas tikar anyaman dari pelepah kurma, beliau tidak memakai alas selain tikar itu. Di bawah kepala beliau, ada bantal dari kulit yang telah disamak, yang berisi sabut (spon) dari pohon kurma. Di sisi kedua kaki beliau, ada kumpulan daun-daun untuk menyamak kulit. Dan di sisi kepala beliau, ada kulit yang masih dalam proses penyamakan tergantung. Aku lihat bekas tikar anyaman itu di sisi badan Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-, hingga keluar air mataku.
Beliau bertanya: “Apa yang membuatmu menangis?”
Aku menjawab: “Wahai Rosululloh! Sesungguhnya raja persia dan romawi saja seperti itu, mengapa engkau yang Utusan Alloh seperti ini?!”
Maka Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- menjawab: “Tidakkah kau rela, jika dunia untuk mereka sedang akhirat untukmu?!”.
[1] Karena telah jatuh baginya talak ketiga (ba’in), dan ia tidak boleh rujuk lagi, kecuali setelah istrinya dicerai oleh orang yang menikahi setelahnya. Jika hal itu terjadi, ia baru boleh menikahinya lagi.
[2] Yaitu apabila suami mentalak istrinya dengan mengatakan: “Aku mentalakmu dengan tiga talak” atau “dengan talak ba’in”