Lalu dari mana mereka menyimpulkannya?
Berikut ini kami kemukakan dalil-dalil mereka, beserta bantahannya, semoga bisa menjadi perbandingan dalam berwawasan. Perlu diketahui, bahwa diskusi yang akan kami paparkan di sini, kami nukil dari kitab “طلوع الفجر الصادق بين تحديد القرآن وإطلاق اللغة” karya syeikh Prof. Dr. Ibrohim bin Muhammad as-Shubaihi, yang telah didukung penuh oleh Syeikh Sholeh Fauzan dan mufti kerajaan saudi arabia, syeikh Abdul Aziz Alu syeikh, dengan beberapa penambahan dari penulis.
Ini adalah diskusi antara ulama’ yang menggunakan metode Ummul Quro, dengan ulama yang menyalahkannya. Metode Ummul Quro sendiri memakai derajat 19 di bawah ufuk sebagai patokan penentuan fajar shodiqnya, dan ini tidak jauh dengan metode yang dipakai indonesia (BRHI), yakni 20 derajat di bawah ufuk.
Arti Al-Khoitul Abyadh secara bahasa
Sebelum masuk ke dalil pertama, ada baiknya kita melihat makna “الخيط الأبيض” (benang putih) menurut para ahli bahasa arab.
Ibnu Faris mengatakan: kata “khoyatho” menunjukkan arti sesuatu yang tipis memanjang. (Mu’jam maqoyis lughoh: 2/233).
Ibnu Mandhur mengatakan: Firman Alloh ta’ala (yang artinya) “Makan dan minumlah (di malam hari kalian berpuasa), hingga jelas benang putihnya fajar dari benang hitamnya (malam). (Al-Baqoroh:187), maksudnya adalah putihnya subuh dan hitamnya malam, ia diserupakan dengan benang, karena tipisnya. (Lisanul Arob: 7/298).
Az-Zamakhsyari mengatakan: “Al-Khoitul Abyadh” adalah awal munculnya fajar yang mendatar di ufuk, seperti benang yang memanjang. (Al-Kasysyaf: 1/239)
Dalil mereka yang pertama:
Dari segi bahasa, Ibnu Manzhur mengatakan: Fajar adalah merahnya matahari di gelapnya malam (Lisanul Arob 2/182). Al-Jauhari mengatakan: Fajar di akhir malam itu seperti sinar merah matahari di awal malam. (2/778)
Jawaban: Ini adalah istidlal yang tidak tepat, karena Alloh ta’ala tidak menjadikan terbitnya fajar yang sempurna sebagai batas mulainya puasa, tapi yang Dia jadikan sebagai batasan adalah benang putihnya fajar, yakni awal mula munculnya fajar, dan sudah jelas ada perbedaan antara keduanya, karena definisi fajar yang mereka sebutkan di atas adalah untuk fajar yang sudah sempurna dengan semua ciri-cirinya. Adapun adanya benang putih, maksudnya adalah munculnya sinar pertama di ufuk, yang kemudian disusul bertambahnya cahaya hingga sempurnanya fajar dengan adanya warna merah.
Pendapat mereka ini melazimkan tidak wajibnya puasa hingga fajar terbit dengan sempurna, yaitu dengan munculnya warna merah, setelah sempurnanya warna putih yang muncul lebih dulu. Jelas, hal ini menyelisihi petunjuk Alqur’an, karena Alloh menjadikan wajibnya puasa ketika awal munculnya benang putih, yakni tahap awal munculnya fajar shodiq, bukan ketika fajar sudah sempurna. Maka seharusnya yang benar adalah istidlal dengan arti bahasanya benang putih, bukan istidlal dengan arti bahasanya fajar yang telah sempurna. Wallohu a’lam…
Agar maksud dari redaksi “al-Khotul Abyadh” dalam Surat al-Baqoroh:187 lebih jelas, maka di sini, kami nukilkan ucapan para ahli tafsir, dalam menafsirinya:
والخيط الأبيض يعني أول بياض الصبح، الضوء المعترض قبل المشرق
Yang dimaksud dengan “al-Khoithul Abyadh” adalah awal munculnya sinar putih subuh, yakni sinar yang melintang di arah timur (Tafsir Muqotil bin Sulaiman 1/99)
لأنَّ الخيطَ الأبيضَ هو بعضُ الفجر وأوله
Karena yang dimaksud “al-Khoitul Abyadh” adalah sebagian fajar, yakni awal kemunculannya (Allubab fi ulumil kitab 3/313)
سميا خيطين لأن كل واحد منهما يبدو في الابتداء ممتدا كالخيط
Keduanya (yakni putihnya siang dan hitamnya malam) disebut benang, karena keduanya pada awal munculnya nampak memanjang seperti benang. (Tafsir Al-Baghowi 1/206)
كان من مستعملات العرب إطلاق الخيط الأبيض على أول ما يبدو من الفجر المعترض في الأفق كالخيط الممدود
Termasuk bahasa yang digunakan orang arab adalah penamaan “al-khoitul Abyadh” (benang putih), untuk awal munculnya fajar yang mendatar di ufuk, seperti benang yang memanjang. (Tafsir Naisaburi 1/445)
الخيط الأبيض وهو أول ما يبدو من الفجر الصادق المعترض في الأفق قبل إنتشاره
“Al-Khoitul Abyadh” adalah awal munculnya fajar shodiq yang mendatar di ufuk, sebelum sinarnya menyebar. (Tafsir Ruhul Ma’ani, 2/66)
وسُمِّيَ خيطاً ، لأن أول ما يبدو من البياض ممتد كالخيط
Fajar itu disebut “benang”, karena pada awal munculnya fajar, sinar putihnya memanjang seperti benang. (Tafsir Al-mawardi, 1/246)
هو أول ما يبدو من بياض النهار كالخيط الممدود دقيقاً ثم ينتشر
Al-Khoitul Abyadh adalah awal munculnya sinar putihnya pagi, seperti benang yang memanjang dan tipis, kemudian menyebar. (Tafsir Ruhul Bayan 1/245)
قال الشريف الرضى: هذه استعارةٌ عجيبة، والمراد بها حتى يتبيّن بياضُ الصبحُ من سواد الليل، والخيطان هاهنا مجاز، وإنما شبّهها بذلك لأنّ بياض الصبح يكون في أول طلوعه مشرقاً خافياً، ويكون سواد الليل منقضياً موليّاً، فهما جميعاً ضعيفان، إلاّ أن هذا يزداد انتشاراً وهذا يزداد استسراراً
Asy-Syarif Ar-Ridho, ketika menafsiri Surat Albaqoroh: 187 mengatakan : “Ini adalah kata kiasan yang menakjubkan, maksud ayat ini adalah, “Hingga jelas putihnya subuh dari hitamnya malam”, Redaksi “al-Khoitoon” (dua benang) di sini adalah majas, dia diserupakan dengan benang, karena putihnya subuh pada awal munculnya bersinar samar, dan hitamnya malam itu berlalu dan menghilang, jadi dua-duanya itu lemah, hanya saja yang ini semakin menyebar, sedang yang itu semakin menghilang. (Tafsiru Ayatil Ahkam 1/84)
Inilah ucapan para ulama ahli tafsir, dalam menafsiri redaksi “Al-Khoitul Abyadh” yang merupakan batas waktu bolehnya makan dan minum bagi mereka yang puasa, dan bisa kita simpulkan bahwa ketika awal munculnya fajar shodiq itu langit masih dalam keadaan gelap, sebagaimana digambarkan dalam banyak hadits.
Prof. Dr. Ibrohim bin Muhammad as-Shubaihi mengatakan: “Terbitnya fajar shodiq -yang dengannya masuk waktu sholat- itu, tidak menyebabkan adanya suasana terang, karena dengan kemunculannya itu, ia tidak menyinari kecuali tempat munculnya saja, lalu menyebar dan menyebar hingga memenuhi ufuk timur, lalu meninggi dan meninggi hingga terbit matahari”. (Thulu’ul Fajris Shodiq, hal: 135)
Sekian seri kedua ini, wallohu a’lam, semoga bermanfaat dan menambah khazanah ilmu kita… amin.
(Bersambung)
Ustadz barokallohu fiikum,
Di forum Sahab ada pembahasan tentang masalah ini, di sana juga dibahas tentang kitab “طلوع الفجر الصادق بين تحديد القرآن وإطلاق اللغة” yang ditulis Dr. Ibrohim bin Muhammad as-Shubaihi, mungkin antum bisa ikut nimbrung diskusi di sana :
http://www.sahab.net/forums/showthread.php?t=370631
syukron atas infonya…
lanjutkan!
tuntaskan!
jelaskan!
perlihatkan!
ana tunggu serialnya,
kalo bisa jangan lama-lama.
syukron.
ustadz dapat tanggapan dari qiblati untuk tulisan yang pertama. saya baca ada di qiblati.com
syukron infonya… ana ga ingin menanggapinya… karena akan semakin panas nantinya… maksud kami hanya ingin meluruskan pemahaman fajar shodiq saja… kami tak bermaksud menghalangi observasi yang dilakukan… silahkan saja, itu hal yang baik, tapi menurut penulis itu bukan kewajiban setiap individu masyarakat… seharusnya observasi itu dilakukan oleh pihak yang berwenang, agar tidak menimbulkan konflik horisontal di kemudian hari… Terus terang, penulis sangat mengkhawatirkan isu ini bisa memojokkan dakwah salafiyah di indonesia, hanya karena cara yang salah dalam menyampaikan sesuatu yang diyakini sebagai suatu kebenaran… Banyak ulama mengatakan “Kebenaran itu berat, maka janganlah kita menambah beratnya dengan cara menyampaikan yang memberatkan”… wallohu a’lam…
[…] https://addariny.wordpress.com/2009/09/02/siapa-yang-salah-kaprah-dalam-waktu-shubuh-2/ […]