Siapa yg SALAH kaprah ttg SUBUH?! (3)

Posted: 4 September 2009 in Fajar
Tag:, , , ,

islamup_com-ec050929ffSebelum masuk ke dalil mereka yang kedua, mari kita lihat dulu masalah berikut ini:

Kapan mulai diharamkan makan bagi yang puasa? Ada dua pendapat dalam masalah ini:

Pendapat Pertama:

Batas tidak bolehnya makan bagi orang yang berpuasa adalah dengan munculnya fajar shodiq yang mendatar di ufuk. (perkataan “di ufuk”, menunjukkan bahwa sinar fajar itu belum menyebar menerangi jalan dan rumah penduduk). Ini adalah pendapat mayoritas ulama Islam dan seluruh madzhab empat (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanbaliyah).

Ibnu Qudamah mengatakan: Pendapat yang senada dengan ini, diriwayatkan dari Umar, Ibnu Abbas, Atho’, dan seluruh kalangan ulama’. (Al-Mughni: 4/325)

Imam Al-Qurthubi mengatakan: Pendapat inilah yang sesuai dengan hadits-hadits dan dipilih oleh para ulama seluruh negeri. Rosul -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “Jangan sampai sahur kalian diganggu oleh adzannya Bilal dan putihnya ufuk yang meninggi seperti ini (yakni fajar kadzib). (Tapi teruskanlah sahur kalian) hingga putih ufuk itu mendatar seperti ini (yakni fajar shodiq)!” (HR. Muslim: 1094) (Tafsir Qurtubi: 2/318)

Al-Jashshosh mengatakan: Tidak ada khilaf diantara kaum muslimin, bahwa dengan fajar putih yang mendatar di ufuk -sebelum munculnya warna merah-, makan dan minum menjadi haram bagi mereka yang berpuasa. (Ahkamul Qur’an lil Jashshosh 1/285). Keabsahan nukilan ijma’ ini meski bisa disanggah, tapi paling tidak, itu menunjukkan sangat banyaknya orang yang memilih pendapat ini.

Pendapat Kedua:

Batas tidak bolehnya makan bagi orang yang berpuasa adalah ketika fajar menyebar, hingga menerangi jalan dan rumah penduduk.

Konon pendapat yang ganjil ini dipilih oleh: Hudzaifah, Abu Musa Al-Asy’ari, Abu Mijlas, Tholq bin Ali, dan Al-A’masy. (Lihat Al-Majmu’ lin Nawawi, Tafsir Al-Qurthubi: 3/187, Tuhfatul Ahwadzy, syarah hadits no: 705 ).

Ini diantara nukilan atsar dari sebagian mereka:

عن زر قال قلنا لحذيفة: أي ساعة تسحرت مع رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم؟ قال: هو النهار إلا أن الشمس لم تطلع

Zirr mengatakan, kami pernah bertanya pada Hudzaifah: “Kapan waktu sahurmu bersama Rosululloh –shollallohu alaihi wasallam-?” Ia menjawab: “Yaitu ketika pagi, hanya saja matahari belum terbit”. (Sunan Nasa’i: 2152, Albani mengatakan: Sanadnya hasan, meski mungkin ada cacatnya)

عن الأعمش، عن مسلم، قال: لم يكونوا يعدُّون الفجر فجرَكم هذا، كانوا يعدُّون الفجرَ الذي يملأ البيوتَ والطرُق

Dari Al-A’masy, dari Muslim, ia mengatakan: “Dahulu yang mereka anggap sebagai fajar, bukanlah fajar kalian ini. Tapi yang mereka anggap sebagai fajar adalah, (fajar) yang memenuhi rumah-rumah dan jalan-jalan”. (Tafsir Thobari)

عن الأَعْمَش أنه قَالَ : لَوْلَا الشُّهْرَة لَصَلَّيْت الْغَدَاةَ ثُمّ تَسَحَّرْت

Dari Al-A’masy, ia mengatakan: “Andai aku tidak khawatir syuhroh, tentu aku sholat shubuh kemudian sahur”. (lihat atsar ini di Fathul Bari, syarah hadits no: 1918)

Tapi pendapat kedua ini lemah, dan banyak ditentang oleh para ulama, lihatlah komentar para ulama berikut ini:

Imam Abu Dawud: “Ini diantara pendapat eksklusif-nya Ahlul Yamamah” (sunan Abi Dawud, hadits no:2348). artinya Ahlul Yamamah menyendiri dengan pendapat ini, dan selain mereka tidak ada yang berpendapat demikian.

Imam At-Thobari: Dalam firman-Nya (yang artinya): Makan dan minumlah, hingga jelas benang putihnya fajar dari benang hitamnya (malam), lalu sempurnakanlah puasa itu hingga malam. (Al-Baqoroh:187) terdapat dalil yang paling jelas tentang salahnya orang yang mengatakan, bolehnya makan dan minum bagi orang yang ingin puasa hingga terbit matahari. Karena benang putih fajar itu menjadi jelas ketika permulaan munculnya awal-awal fajar, sedang Alloh telah menjadikan itu sebagai pembatas waktu bagi orang yang wajib puasa, dari bolehnya makan, minum dan jima’. (Tafsir Thobari)

Al-Qurthubi juga menukil perkataan At-Thobari: “Yang mendorong mereka mengatakan ini; karena puasa itu dimulai dari siang, dan siang menurut mereka dimulai dari terbitnya matahari. (Tafsir Qurthubi 2/319)

Imam Nawawi: Syeikh Abu Hamid mengatakan, pendapat ini dinukil dari Hudzaifah ibnul Yaman, Abu Musa Al-Asy’ari, Abu Mijlaz, dan Al-A’masy –rodhiallohu anhum-. Mereka mengatakan, bahwa akhir malam adalah terbitnya matahari, (hingga) mereka mengatakan sholat shubuh termasuk sholat malam. Mereka juga mengatakan, orang yang berpuasa boleh makan hingga terbit matahari. Demikianlah nukilan Abu Hamid dari mereka, dan perkiraanku hal ini tidak valid dari mereka. (Al-Majmu’)

Al-Qodhi Abu Thoyyib dan Shohibusy Syamil: Konon Al-A’masy mengatakan bahwa sholat shubuh termasuk sholat malam, dan sebelum terbitnya matahari berarti masuk dalam waktu malam, sehingga pada waktu itu makan masih dibolehkan bagi orang yang puasa”. Mereka berdua mengatakan: Riwayat ini jauh dari ke-valid-an, karena jelasnya keharaman makan setelah terbitnya fajar, dalam setiap masa, serta jelasnya (keterangan) Alqur’an. (Al-Majmu’)

Al-Mawardi mengatakan: “(Para ulama) telah IJMA’ dalam menyelisihi pendapat ini” (Tafsir Al-mawardi, 1/246)

Imam Nawawi mengatakan: Jawaban pendapat ini adalah, bahwa sholat shubuh itu termasuk sholat siang, sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-baqoroh: 187. Begitu pula ijma’ (kesepakatan) ulama sepanjang masa, tentang haramnya makan dan minum ketika terbitnya fajar. Dan telah shohih juga hadits Jibril yang di dalamnya dikatakan: “Lalu Jibril sholat Shubuh ketika muncul fajar dan diharamkannya makanan bagi orang yang puasa”. (Al-Majmu’ 3/46-48, dengan sedikit penyesuaian)

Intinya, pendapat yang jauh lebih kuat berdasarkan dalil-dalil syar’i adalah pendapat pertama, dan tidak boleh bagi kita memilih pendapat kedua, karena terlalu lemahnya pendapat itu dari sisi dalil, wallohu a’lam.

Setelah memahami uraian di atas, mari kita lihat dalil mereka yang kedua:

Diantara dalil kelompok yang menyalahkan metode kalender ummul quro adalah:

عن زِرّ قال: قُلْنا لحذيفة: أي ساعة تسحرت مع رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم؟ قال: هو النهار إلا أن الشمس لم تطلع

Zirr mengatakan, kami pernah bertanya pada Hudzaifah: “Kapan waktu sahurmu bersama Rosululloh –shollallohu alaihi wasallam-?” Ia menjawab: “Yaitu ketika pagi, hanya saja matahari belum terbit”. (Sunan Nasa’i: 2152, Albani mengatakan: Sanadnya hasan, meski mungkin ada cacatnya)

عن الأعمش، عن مسلم، قال: لم يكونوا يعدُّون الفجر فجرَكم هذا، كانوا يعدُّون الفجرَ الذي يملأ البيوتَ والطرُق

Dari Al-A’masy, dari Muslim, ia mengatakan: “Dahulu yang mereka anggap sebagai fajar, bukanlah fajar kalian ini. Tapi yang mereka anggap sebagai fajar adalah, (fajar) yang memenuhi rumah-rumah dan jalan-jalan”. (Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah: 9168)

Jawaban:

(a) Istidlal ini tidak pada tempatnya, karena itu adalah dalilnya orang yang berpendapat bolehnya makan meski telah terbit fajar, asal belum terbit matahari, (sebagaimana telah kami uraikan di atas). Jadi jelas, dalil ini tidak ada hubungannya dengan pembahasan masuknya waktu shubuh.

Dan sebatas pengetahuan penulis –wallohu a’lam-, tidak ada ulama salaf yang menjadikan ini, sebagai dalil munculnya fajar shodiq, yang ada, mereka memakainya untuk dalil bolehnya makan meski telah masuk waktu shubuh.

(b) Jika perkataan di atas valid dari mereka, dimaknai apa adanya, dan digunakan sebagai dalil masuknya waktu subuh, maka kita katakan: Dalil itu berseberangan dengan dalil yang lebih kuat, yakni Qur’an dan Sunnah. Sebagaimana kita tahu, bahwa Alqur’an hanya memberi batasan waktu shubuh dengan munculnya benang putih (Albaqoroh: 187), sedang dari Sunnah banyak dijelaskan keadaan para sahabat, ketika memulai sholat shubuh bersama Rosul –shollallohu alaihi wasallam-, susananya masih gelap hingga mereka hampir saja tidak bisa mengenali teman yang duduk disampingnya. (HR. Muslim: 614, Abu Dawud: 395, dan 398).  Jelas jika keadaannya demikian, kita harus mendahulukan Al-Qur’an dan Sunnah, dari pada dalil yang lebih lemah yang menyelisihinya.

(c) Hadits Adiy r.a. yang diriwayatkan oleh Bukhori (1916) dan Muslim (1090), jelas-jelas menyelisihi dalil di atas. Yakni setelah Adiy r.a. mendengar firman Alloh surat Al-Baqoroh: 187, tentang tampaknya benang putih dan benang hitam sebagai tanda masuknya shubuh, maka ia memperaktekkannya dengan meletakkan dua tali warna hitam dan putih, di bawah bantalnya, lalu ia jadikan sebagai patokan masuknya fajar, ketika ia bisa membedakan warna keduanya -karena sinar fajar yang lambat laun menyebar hingga menerangi jalan dan rumahnya- berarti menurutnya waktu subuh telah tiba.

Setelah ia menceritakan hal itu pada Rosul ­-shollallohu alaihi wasallam-, beliau malah mengingkarinya dan menjelaskan bahwa maksud ayat itu adalah putihnya sinar pagi yang ada di ufuk dan hitamnya malam. Beliau tidak menjelaskan bahwa maksud ayat itu adalah pengaruh dari menyebarnya cahaya subuh dalam membedakan warna sesuatu.

Dari uraian di atas kita tahu, bahwa syarat yang menyatakan sinar fajar shodiq harus menyebar hingga memenuhi jalanan dan perumahan, adalah hal yang sebenarnya dilarang Rosul –shollallohu alaihi wasallam– sebagaimana terjadi pada Adiy r.a. Jika demikian, apakah boleh memaksakan syarat itu kepada Umat Islam, padahal beliau sendiri telah melarangnya?!…

Ada yang menyandarkan pendapat, bahwa fajar shodiq itu sinarnya harus menyebar ke jalanan dan perumahan kepada Ibnu Jarir At-Thobari, karena beliau menyebutkan pendapat ini:

صفة ذلك البياض أن يكون منتشرا مستفيضا في السماء يملأ بياضه وضوءُهُ الطرق

Ciri sinar putih itu adalah dengan menyebar dan menjadi banyak dilangit, hingga putih dan sinarnya (fajar shodiq) itu memenuhi jalan-jalan.

Kita katakan, bahwa penyandaran pendapat ini kepada Ibnu Jarir, tidaklah benar, karena beliau di sini hanya menyebutkan salah satu pendapat ulama dalam menafsiri firman-Nya dalam surat Al-Baqoroh: 187. Makanya setelah menyebutkan perkataan di atas, beliau langsung susuli dengan menyebutkan siapa yang mengatakan pendapat itu. Kemudian beliau tutup dengan menyebutkan pendapat yang dipilihnya, dengan mengatakan:

وأما قوله:”من الفجر” فإنه تعالى ذكره يعني: حتى يتبين لكم الخيطُ الأبيضُ من الخيط الأسود الذي هو من الفجر. وليس ذلك هوَ جميعَ الفجر، ولكنه إذا تبيَّن لكم أيها المؤمنون من الفجر ذلك الخيط الأبيض الذي يكون من تحت الليل الذي فوقه سواد الليل، فمن حينئذ فصُوموا، ثم أتِمُّوا صيامكم من ذلك إلى الليل. وبمثل ما قلنا في ذلك كان ابن زيد يقول… في قوله:”منَ الفجر” قال: ذلك الخيط الأبيضُ هو من الفجر نسبةً إليه، وليس الفجر كله، فإذا جاء هذا الخيط، وهو أوله، فقد حلت الصلاةُ وحَرُم الطعام والشراب على الصائم.

Adapun firman-Nya: “minal fajr“, maka yang Alloh ta’ala maksud adalah: Hingga tampak jelas bagimu benang putih -yang merupakan bagian dari fajar- dari benang hitamnya, dan itu bukanlah fajar seluruhnya. Tapi maksudnya adalah: “Wahai para mukminin! Jika telah jelas benang putihnya fajar, yang berada di bawah malam dan diatasnya ada hitamnya malam, maka mulai saat itu berpuasalah kalian, lalu sempurnakanlah puasa kalian hingga malam!”. Ibnu Zaid juga mengatakan seperti perkataan kami ini… ia mengatakan -ketika menafsiri firmanNya: “minal fajr“-: “Itu adalah benang putih, dan dia itu sebagian dari fajar, bukan fajar semuanya.  Jika datang benang ini -yang merupakan awal fajar-, maka dibolehkan sholat (subuh), dan diharamkan makan dan minum bagi orang yang puasa”. (Tafsir Thobari 3/530).

Inilah pendapat yang dikuatkan dan dipilih oleh Imamnya para ahli tafsir, Ibnu Jarir At-Thobari, tidak seperti yang disebarkan oleh sebagian orang selama ini, dan pendapat inilah -menurut kami- yang paling sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah, wallohu a’lam.

(bersambung)

Komentar
  1. Gembul berkata:

    wahh..akhirnya di lanjutkan juga
    semoga g bukin orang awam jd bingung

    • addariny berkata:

      InsyaAlloh ini hanya menjadikan bingung bagi sebagian kecil umat saja, yakni mereka yang sebelumnya telah dibuat bingung oleh orang yang mengangkat masalah ini langsung ke publik, tanpa membicarakan lebih dulu kepada yang berwenang…sedang kebanyakan yang belum ngerti dan kebetulan membacanya insyaAlloh akan semakin mantap dengan ibadahnya… Afwan jika tulisan kami membingungkan antum… semoga kita selalu dalam naungan rahmat dan taufiq-Nya…

  2. salim berkata:

    akhirnya, seri 3 sudah keluar.
    dalilnya tambah mantep aja.
    ditunggu sambungannya.
    syukron

    • addariny berkata:

      syukron atas dukungannya… mudah2an para ikhwan bisa memahami maksud penulis dalam memosting artikel ini, setelah membaca sampai akhir seri tulisan ini…

  3. anto berkata:

    Assalamu’alaikum.
    subhanallah benarlah dalil yang antum sampaikan masalah fajar shodiq dan juga benar yang di sampaikan Qiblati tentang fajar tidak bertentangan dan saling melengkapi. setelah saya melakukan pengamatan dengan beberapa orang dari anggota takmir masjid lebih dari 13 kali di tempat yang berbeda (lereng gunung, dan pantai yang bebas polusi cahaya) kami mendapati ternyata fajar shodiq yang membentang di ufuk dari utara ke selatan itu baru nampak kisaran 20 menit setelah adzan ( jadwal yang ada ) dalam hal ini benarlah yang di jelaskan oleh Qiblati. pada waktu kajian syeikh Mamduh(qiblati)di masjid Al ghifari tagal 14 agustus 09, juga menjelaskan kita tidak perlu melihat terus menerus cukup bagi kita menambah 20 menit dari jadwal yang ada karena hitungan falak itu bisa di jadikan patokan. hanya saja pengambilan derajatnya yang berbeda ada yang 20 derajat dibawa ufuk ini yang di pakai indonesia ( fajar shodiq belum Nampak ) ada yang 15 (isna) derajat di bawa ufuk ( fajar sudah Nampak ). kesimpulan mengenai ta’rif tentang fajar shodik sama ust sama dengan qiblati. utuk hasil observasi qiblatilah yang benar. kita tunggu hasil observasi ust?

    • addariny berkata:

      Ana sekarang tidak bisa observasi di indonesia, karena ana di negara lain… untuk saudi sudah banyak yang membuktikan ketepatan kalender UMMUL QURO… insyaAlloh dalam artikel selanjutnya akan kami cantumkan hal ini…

    • addariny berkata:

      Definisi fajar shodiq yang dimuat qiblati, berbeda dengan yang kami sebutkan… Mereka memberi dua syarat tambahan dalam fajar shodiq, yaitu: sinar fajar yang menyebar di langit, dan adanya campuran warna merah… sedang kami tidak menyaratkan dua hal itu, sebagaimana telah dijelaskan dalam Alqur’an dan Sunnah… dan besarnya perbedaan waktu antara ru’yah dan penanggalan lebih banyak disebabkan oleh kriteria fajar shodiq mana yang dimaksud… orang yang menerapkan dua syarat itu tentunya akan lebih akhir dengan jangka yang cukup lama… berbeda jika mereka tidak mensyaratkannya, jika masih ada perbedaan tentunya ga sebanyak itu… sebagaimana diungkapkan syeikh utsaimin: orang yang mengatakan jadwal yang ada kecepatan 20 menit, itu terlalu berlebih-lebihan dan tidak benar…

  4. zaki berkata:

    ustadz… salam kenal ustadz… ana zaki asal dari Demak ustadz… tetangga antum jepara… ana juga pernah menimba ilmu agama di kota kudus seperti antum walaupun akhirnya ana memilih untuk melanjutkan kuliah di sebuah PTN teknik di Surabaya.

    Coba antum baca dengan teliti majalah Qiblati… Wallahu A’alam setahu ana mereka tidak pernah menyaratkan fajar shodiq dengan adanya warna merah…. kalau ada syarat seperti itu di majalah Qiblati tolong tunjukkan kepada Ana. Mungkin ana bisa berbicara kepada Ustadz Agus (Pimred Qiblati) untuk melakukan tabayyun.

    menurut ana artikel antum dan Qiblati saling melengkapi… jadi tidak ada pertentangan…

    • addariny berkata:

      salam kenal balik… ahlan… masyaAlloh, seneng banget bisa kenalan sama tetangga kota… mudah2an kita nanti bisa ketemu dan kumpul bersama… gmn dakwah salafiyah di demak?… mudah2an perkembangannya bagus, amin…. masyaAlloh semoga antum sukses dalam menuntut ilmunya… amin…
      Afwan sebelumnya… Tulisan ana ini bukan untuk membantah Qiblati, tapi lebih umum dari itu, membantah siapa pun yang menyaratkan dua sifat itu untuk fajar shodiq… makanya ada dalil yang tidak disebutkan mereka tapi tak sebutkan dalam artikel ini…
      Terus terang isu ini, sebenarnya sudah lama beredar di negara Islam lainnya, seperti Mesir yang sudah dipadamkan dengan keluarnya fatwa resmi dari mufti mesir. Di saudi juga pernah geger, dan telah di keluarkan fatwa resmi dari mufti Syeikh Binbaz, begitu pula syeikh Sholeh Fauzan, dan masyayikh lainnya….
      tujuan ana nulis ini hanya untuk meluruskan pemahaman masalah fajar shodiq saja… agar dalam observasi orang bisa mengetahui sifat fajar shodiq yang sebenarnya menurut Alquran dan sunnah… bukan menurut kelompok tertentu yang minoritas
      coba antum baca lagi redaksi dari Qiblati berikut ini:
      “Dari dalil-dalil ini, menjadi jelas bagi kita kapan waktu fajar shadiq. Kita bisa mengenalinya dengan sinar terang yang menyebar di langit. ” (salah kaprah, seri 1)
      antum insyaAlloh paham, bahwa menyebarnya sinar terang di langit itu terjadi setelah munculnya warna merah di ufuk… kalo pendapat ini benar-benar diterapkan, implikasinya puasa umat Islam jadi tidak sah, karena puasanya tidak dimulai dari awal waktunya… antum insyaAlloh tahu, pendapat fajar shodiq yang sinarnya harus menyebar di langit ini menyelisihi pendapat mayoritas ulama islam… terus terang ana tidak tahu, ulama siapa yang menjadikan ciri itu sebagai awal masuknya fajar shodiq, yang ana tahu itu adalah akhir waktu bolehnya makan bagi orang yang puasa… jadi, menurut ana ada dua masalah yang dicampur-adukkan dlm hal ini… itu udah ada singgung juga dlm artikel ana seri 3…
      coba antum baca lagi…
      Afwan kl ada kata yang kurang berkenan…

  5. masbadar berkata:

    tulisannya berat, kayak majalah as sunnah.. yg baca sepertinya ustad2 atau calon2 ustadz.. jadi kesimpulannya…
    sy jadi inget masa kecil doeloe, perbedaan fajar kadzib dan fajar shodiq.. ah mungkin sekedar trend perdebatan baru salafiyyiin ngkali..

  6. arif berkata:

    Bismillah semoga dengan adanya bantahan dari antum bisa memberi ketenangan, karena waktu subuh yang sudah berjalan selama ini sudah sesuai dengan ketentuan yang disyariatkan oleh sunnah.

    • addariny berkata:

      Meski antum berpendapat seperti itu… tapi ana tetap menyarankan adanya tinjauan ulang masalah fajar shodiq ini, tidak lain untuk lebih memantapkan hati…

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s