Siapa yg SALAH kaprah ttg SUBUH?! (5)

Posted: 12 September 2009 in Fajar
Tag:, , , ,

islamup_com-ec050929ffSebelum masuk ke dalil berikutnya, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya, karena keterlambatan dalam memposting lanjutan tulisan ini, hal itu disebabkan banyaknya pekerjaan yang menyita waktu penulis…

Dalil mereka yang kelima:

Mereka mengatakan bahwa pedoman yang dipakai untuk menentukan fajar shodiq selama ini adalah apa yang dinamakan fajar falaki, yang menurut mereka sama dengan fajar kadzib.

Jawaban:

Memang para ulama menentukan waktu fajar itu dengan mengacu pada fajar falaki, tapi apa benar fajar falaki itu sama dengan fajar kadzib? Untuk menjawab ini, mari kita dengarkan para ahli falak dalam mendefinisikannya.

Dr. Ali Hasan Musa:

Kapan mulai fajar falaki? Fajar falaki itu awal sinar yang sesungguhnya sebelum terbit matahari, ini terjadi ketika matahari masih di bawah ufuk kira-kira 18 derajat, dan ini sama dengan kira-kira 72 menit. Sinar ini muncul dari pantulan cahaya matahari yang menyebar pada partikel-partikel atmosfer sebelum terbitnya matahari, dan ia memancar di pojok ufuk kira-kira 18 derajat. Andaikan tidak ada atmosfer bumi, tentu perpindahannya akan serta-merta, sehingga ia datang dari gelapnya malam yang pekat kepada terbitnya matahari yang terang. (Ilmul falak bainas sa’il wal mujib, hal: 306) 

Dr. Zainab Manshur:

Di tengah-tengah proses merendahnya matahari dari derajat 12 sampai derajat 18, terlihatlah syafaq falaki, dan ketika itulah dimulainya proses datang atau hilangnya kegelapan yang pekat. (Al-Mausu’ah Al-Falakiyah, hal: 170)

Prof. Ahmad Ali syawar al-Falaki:

Syafaq adalah sinar yang muncul saat sore, antara terbenamnya matahari sampai gelapnya malam. Sedang fajar adalah sinar yang muncul saat pagi, antara gelapnya malam sampai terbitnya matahari. Bentuk dan keadaan keduanya mirip dan sebabnya adalah pantulan matahari di udara. Yang pertama (syafaq) berakhir -sebagaimana dijelaskan oleh para ulama falak- ketika matahari di bawah ufuk di arah barat, kira-kira 18 derajat. Sedang yang kedua (fajar) mulai ketika matahari di bawah ufuk di arah timur, pada derajat itu juga (18). Dan antara berakhirnya syafaq sampai awalnya fajar, disebut jaufullail (tengah malam). (Al-Hai’ah Al-Falakiyah, yang dibimbing dan dikoreksi oleh Dr. Sholih bin Muhammad Al-Ujairi).

Inilah keterangan-keterangan dari para ahli falak, mereka menjelaskan bahwa fajar falaki terjadi antara derajat 12-18, dari derajat 18 sinar fajar itu mulai muncul, lalu makin turun derajatnya sinar matahari menjadi makin terang, hingga akhirnya terbit. Dalam proses itu tidak ada tanda fajar kadzib, yaitu proses munculnya sinar terang lalu gelap kembali, ini merupakan bukti bahwa fajar falaki bukanlah fajar kadzib sebagaimana dituduhkan oleh mereka. Tidakkah mereka tahu bahwa para ahli astronomi itu juga tahu  fajar kadzib dan menamainya dengan istilah khusus, yakni cahaya zodiak?!

Lihat juga keterangan dari T. Djamaludin (Anggota Badan Hisab Rukyat Depag RI/Peneliti Utama Astronomi-Astrofisika LAPAN) dalam mendefinisikan fajar shodiq dan kadzib berikut ini:

Fajar kidzib memang bukan fajar dalam pemahaman umum, yang secara astronomi disebut cahaya zodiak. Cahaya zodiak disebabkan oleh hamburan cahaya matahari oleh debu-debu antarplanet yang tersebar di bidang ekliptika yang tampak di langit melintasi rangkaian zodiak (rangkaian rasi bintang yang tampaknya dilalui matahari). Oleh karenanya fajar kidzib tampak menjulur ke atas seperti ekor srigala, yang arahnya sesuai dengan arah ekliptika. Fajar kidzib muncul sebelum fajar shadiq ketika malam masih gelap”.

Fajar shadiq adalah hamburan cahaya matahari oleh partikel-partikel di udara yang melingkupi bumi. Dalam bahasa Al-Quran fenomena itu diibaratkan dengan ungkapan “terang bagimu benang putih dari benang hitam”, yaitu peralihan dari gelap malam (hitam) menunju munculnya cahaya (putih). Dalam bahasa fisika hitam bermakna tidak ada cahaya yang dipancarkan, dan putih bermakna ada cahaya yang dipancarkan. Karena sumber cahaya itu dari matahari dan penghamburnya adalah udara, maka cahaya fajar melintang di sepanjang ufuk (horizon, kaki langit). Itu pertanda akhir malam, menjelang matahari terbit. Semakin matahari mendekati ufuk, semakin terang fajar shadiq. Jadi, batasan yang bisa digunakan adalah jarak matahari di bawah ufuk.

Secara astronomi, fajar (morning twilight) dibagi menjadi tiga: fajar astronomi, fajar nautika, dan fajar sipil. Fajar astronomi didefinisikan sebagai akhir malam, ketika cahaya bintang mulai meredup karena mulai munculnya hamburan cahaya matahari. Biasanya didefinisikan berdasarkan kurva cahaya, fajar astronomi ketika matahari berada sekitar 18

derajat di bawah ufuk. Fajar nautika adalah fajar yang menampakkan ufuk bagi para pelaut, pada saat matahari berada sekitar 12 derajat di bawah ufuk. Fajar sipil adalah fajar yang mulai menampakkan benda-benda di sekitar kita, pada saat matahari berada sekitar 6 derajat.

Fajar apakah sebagai pembatas awal shaum dan shalat shubuh? Dari hadits Aisyah disebutkan bahwa saat para perempuan mukmin pulang dari shalat shubuh berjamaah bersama Nabi SAW, mereka tidak dikenali karena masih gelap. Jadi, fajar shadiq bukanlah fajar sipil karena saat fajar sipil sudah cukup terang. Juga bukan fajar nautika karena seusai shalat pun masih gelap. Kalau demikian, fajar shadiq adalah fajar astronomi, saat akhir malam”. (dinukil dari: http://t-djamaluddin.spaces.live.com/blog/cns!D31797DEA6587FD7!597.entry)

Dari nukilan di atas kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa para ahli falak itu tidak menempatkan fajar shodiq pada waktunya fajar kadzib, karena mereka tahu perbedaan yang jelas antara keduanya.

Dalil mereka yang keenam:

Mereka menyebutkan perkataan beberapa ulama yang mendukung pendapat mereka, bahwa waktu sholat shubuh yang ada dalam kalender, terlalu cepat antara 15-30 menit.

Jawaban:

Meski ada beberapa ulama yang mendukung mereka, tapi yang lebih banyak adalah yang menentang mereka. Sayang perkataan dari ulama yang mayoritas itu tidak mereka sebutkan, sungguh alangkah baiknya jika mereka juga menyebutkan perkataan para ulama yang menentang mereka itu, agar masyarakat tahu, bahwa ini merupakan masalah khilafiyah, yang membutuhkan sikap yang arif dalam menyikapinya. Juga agar masyarakat tahu, bahwa ini bukanlah masalah yang salahnya tidak bisa ditoleran dan harus diingkari dengan keras, tanpa pertimbangan yang lebih mendalam.

Di sini kami hanya akan menyebutkan beberapa nukilan saja, semoga yang sedikit ini bisa memberikan wawasan yang lebih luas dan menumbuhkan sikap toleran dalam menyikapi masalah ini…

(a) Fatwa dari Mufti Negara Saudi Arabia sekarang, Syeikh Abdul Aziz Alu Syeikh.

Prof. Dr. Ibrohim bin Muhammad As-Shubaihi mengatakan: Yang terhormat Mufti Kerajaan (Saudi Arabia), Syeikh Abdul Aziz Alu Syaikh, mengecam pendapat yang meragukan keakuratan kalender Ummul Quro dalam penentuan waktu mulai puasa dan waktu berbuka di Bulan Romadhon. Beliau menegaskan bahwa semua pendapat yang  dikemukakan dalam masalah ini salah dan jauh dari kebenaran, dan harusnya (pendapat mereka itu) tidak usah dihiraukan, karena hal itu menimbulkan sikap skeptis di barisan kaum muslimin.

Prof. Dr. Ibrohim bin Muhammad As-Shubaihi menambahkan: Dalam keterangan resminya Mufti mengatakan, bahwa: Kalender Ummul Quro itu kalender yang resmi, syar’i, dan tidak sembarangan, karena telah disusun oleh para ulama pilihan yang tepercaya, baik dalam ilmu maupun amanahnya, dan telah dipakai sejak dahulu hingga sekarang.

Yang terhormat Mufti yang lalu, Syeikh Abdul Aziz Bin Baz, pada masanya juga telah memerintahkan untuk membentuk lajnah (tim khusus) yang terdiri dari para ulama dan tenaga ahli, untuk memeriksa ulang keakuratan kalender Ummul Quro. Hal itu dilakukan setelah banyaknya surat yang dikirim kepada beliau dari sebagian lembaga dakwah dan sebagian imam masjid tentang waktu fajar. Beliau tidak menolak untuk mengoreksi ulang keakuratan kalender yang ada, sebaliknya beliau memerintahkan untuk menindaklanjutinya.

(Tidak hanya itu), beliau juga melayangkan perintah kepada kementrian haji dan wakaf dengan surat resmi no 1/182, tanggal 20/1/1412 H, karena adanya permintaan dari ketua lembaga dakwah dan penyuluhan daerah Ar’ur yang melihat adanya perbedaan jauh dalam kalender Ummul Quro untuk daerah Ar’ur, antara adzan shubuh dengan terbitnya matahari. Kemudian lajnah (yang dibentuk untuk mengoreksi ulang kalender tersebut) menegaskan dalam laporan resminya, bahwa waktu yang ada masih akurat dengan terbitnya fajar (shodiq). Dan Syeikh Abdul Aziz Alu Syeikh (Mufti Kerajaan Saudi Arabia sekarang), menegaskan harusnya menerapkan kalender Ummul Quro, dan tidak mengakhirkan waktu mulai puasa dan waktu buka puasa, karena tidak adanya alasan yang mendasari hal ini.

Dalam masalah waktu atau kiblat, jika masyarakat telah berjalan di atas ketentuan yang didasari dengan ilmu dan fatwa, dan telah diperaktekkan oleh kaum muslimin secara umum, maka tidak boleh ada usaha untuk menimbulkan keraguan kepada mereka dalam hal waktu sholat, atau waktu ibadah, atau yang semisalnya. Ini tidak boleh dilakukan, karena peraktek mereka itu telah didasari dengan fatwa dari para ulama.

Dan usaha menimbulkan keraguan kepada fatwa para ulama dalam masalah ibadah, atau apa yang telah diamalkan (secara umum), jika kesalahannya tidak nyata, dan masih dalam lingkup ijtihad, maka hal itu tidak boleh disebarkan kepada khalayak.

Maka, waktu sholat yang wajib dipegang oleh semua adalah apa yang ada dalam kalender Ummul Quro, dan wajib bagi semua muadzin untuk konsisten dengannya, baik untuk waktu fajar ataupun untuk waktu lainnya, baik di Kota Riyadh maupun di kota lainnya. Adapun jika dia hidup di daerah yang belum dimasuki jadwal waktu, maka ia harus berijtihad (dalam waktu sholat) dengan berdasar tanda-tanda alam yang dilihatnya.

Jadwal waktu yang ada dalam kalender itu berdasarkan hisab, dan menyandarkan waktu sholat kepada hisab itu boleh berdasarkan IJMA’ (konsensus) para ulama, karena Alloh Jalla wa’ala berfirman (yang artinya): “Dirikanlah sholat sejak matahari tergelincir, sampai gelapnya malam” (Al-Isro’: 78). (Lihatlah, dalam Ayat ini) Alloh menjadikan pelaksanaan sholat dengan diketahuinya tergelincirnya matahari, tanpa membatasi sarana untuk mengetahui proses tergelincirnya matahari itu, dan para ulama mengatakan dalam kaidah fikih: “Hukum wadh’iyah yang meliputi sebab, syarat, mani’ dan yang lainnya, jika tidak ada batasan pada sarana (untuk mengetahui)-nya, maka dengan sarana apapun hal itu diketahui, hukum wadh’iyah tersebut menjadi tetap”, kecuali jika ada dalil khusus yang mengecualikannya, seperti dalam masalah puasa… Adapun selain puasa, maka penentuannya boleh dengan hisab, seperti penentuan waktu sholat… Dengan demikian, maka mengamalkan apa yang telah ditetapkan, dibagi, dan ada dalam kalender menjadi keharusan, dan tidak boleh meragukannya.

(Meski demikian), jika memang terdapat kesalahan, maka kementrian urusan keislaman, wakaf, dakwah, dan penyuluhan, akan menyampaikan kepada khalayak kesalahan yang memang telah terbukti terjadi.

Adapun jika ada satu orang atau seorang imam, lalu mengatakan: “Masyarakat, (waktu kita) terlalu cepat!”, yang lain mengatakan: “Jangan sholat (sekarang)!, dan yang lain lagi mengatakan: “Ulangilah sholat kalian!” atau “Sholat kalian batal (karena tidak tepat waktu)!”, maka tindakan seperti ini, merupakan tasykik (membikin keraguan) dalam hal ibadah, dan hal itu tidak boleh dilakukan kecuali dengan fatwa dari badan fatwa tertinggi di negara itu, karena ini menyangkut amal ibadah yang paling agung, dan tidak seorang pun berhak secara pribadi ikut campur dalam masalah ini. (Lihat Kitab Thulu’ul Fajris Shodiq hal. 32-35)

(b) Fatwa dari Mufti Mesir, Syeikh Jadal Haq -rohimahulloh- (tertanggal 25 Muharrom 1402 / 22 november 1981).

Soal: Banyak warga yang menanyakan kepada badan fatwa (negara Mesir), tentang isu yang disebarkan oleh sebagian kelompok, yang mengatakan bahwa: “Waktu sholat fajar yang berdasar hisab falak yang diterapkan di Mesir, terlalu cepat kira-kira 20 menit dari waktu terbitnya fajar shodiq berdasarkan tanda-tanda syar’inya, begitu pula tentang akhir waktu Maghrib dan  awal waktu isya’ tidak akurat juga, dengan alasan tidak sesuai dengan keterangan yang ada dalam hadits”. (Tidak hanya itu), kelompok-kelompok ini juga mengklaim bahwa semua orang salah dalam hal ini, dan menyebarkan keraguan (sahnya) ibadah masyarakat. Terutama ketika bulan Romadhon, mereka bahkan telah menfatwakan mundurnya waktu bolehnya makan bagi yang puasa hingga terang dan jelasnya cahaya pagi, hingga melewati batas waktu fajar sebagaimana tersebut dalam hisab. Mereka berdalil dengan ayat (yang artinya): ” Makan dan minumlah (di malam hari kalian berpuasa), hingga jelas benang putihnya fajar dari benang hitamnya (malam). (Al-Baqoroh:187). Dan mereka juga mengambil dua tali hitam dan putih, lalu membolehkan makan dan minum (bagi yang puasa) hingga mereka bisa membedakan tali putih dan tali hitamnya.

Mufti menjawab: Karena banyaknya pertanyaan tentang ini, baik lewat televisi maupun tulisan, maka mufti (Negara Mesir) mengajukan masalah hisab falak untuk jadwal waktu sholat, yang disusun oleh Badan Lapan Negara Mesir dalam kalender resminya, kepada badan yang terdiri dari para tenaga ahli dalam ilmu falak, ahli teropong, dan ahli hisab falak, dari Akedemi Penelitian Ilmiyah, dari Universitas Al-Azhar, dari Universitas Al-Qohiroh, dan Badan Lapan Negara Mesir, untuk mengungkapkan pendapat yang ilmiyah, tentang perbandingan waktu-waktu syar’i dengan waktu-waktu yang ada dalam hisab yang selama ini digunakan.

Ikut dalam penelitian itu, Sayyid Ketua Majlis Kantor Bank Islam Dubai, salah satu orang yang mengirimkan pernyataan kepada Badan Fatwa (Negara Mesir) tentang tidak akuratnya hisab (waktu sholat) yang selama ini diberlakukan di Mesir, terutama untuk sholat Isya’ dan Sholat Fajar.

Akhirnya Lajnah ini mengajukan laporan akhir -setelah diadakannya penelitian tersebut- bahwa cara yang yang dipakai dalam hisab waktu sholat di Negara Mesir, sesuai dari sisi syari’at maupun falak dengan pendapat pendahulu para ulama islam yang ahli falak. Dan untuk menegaskan hal ini, maka lajnah penelitian tersebut mengusulkan untuk membentuk lajnah ilmiyah yang bertanggung jawab mengawasi (tanda-tanda syar’i) dan mencocokkannya dengan waktu-waktu syar’i, untuk waktu yang berbeda-beda, dan dalam jangka waktu dua tahun.

Karena usulan itu patut untuk disetujui, apalagi untuk memperkuat (keakuratan) waktu-waktu ibadah, utamanya sholat dan puasa, dan dengan memanfaatkan sarana yang diberikan Alloh kepada Manusia berupa ilmu “yang diajarkan kepada manusia yang sebelumnya tidak diketahuinya” (al-Alaq:5), maka Mufti berdiskusi dengan Sayyid Menteri Prof. Dr. AB, seorang ketua Akedemi Penelitian Ilmiyah, untuk membentuk lajnah yang diusulkan tersebut, menentukan tugas khususnya, dan agar memberi kemudahan dalam setiap hal yang dibutuhkan dalam penelitian tersebut dari lembaga yang terkait dengan Akademi itu, dan berkat taufiq dari Alloh telah ada kesepakatan terhadap semua langkah-langkah itu.

Dan dengan ini, Mufti (Negara Mesir) ingin menjelaskan kepada semua warganya, bahwa dirinya menegaskan keakuratan jadwal waktu hisab sholat yang ada, dan disyariatkan untuk menerapkannya, mentaatinya, dan menjadikannya sebagai dasar untuk ibadah puasa dan sholat, tentunya dengan memperhatikan perbedaan hisab waktu, karena perbedaan waktu dan tempat. (Waktu dalam kalender itu) sesuai dengan waktu-waktu syar’i yang diterangkan oleh Malaikat Jibril Alaihissalam, kepada Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- dengan tanda-tanda alam yang dijabarkan dalam hadits-hadits mulia, yang diriwayatkan oleh Para Pengarang Kitab Sunan dalam bab waktu-waktu sholat.

Adapun mereka yang melihat tali hitam dan putih, untuk menentukan waktu fajar dan waktu mulainya puasa, mereka telah didahului oleh seorang arab baduwi, di zaman Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-. Imam Bukhori dan Muslim meriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad, ia mengatakan: Telah turun ayat (yang artinya): “Makan dan minumlah (di malam hari kalian berpuasa), hingga jelas benang putih dari benang hitam. (Al-Baqoroh:187). Ketika itu belum turun tambahan redaksi ayat “Minal Fajr” (dari fajar). Maka orang-orang jika ingin puasa, mereka mengaitkan di kedua kakinya tali hitam dan putih, dan dia tidak berhenti makan dan minum hingga bisa melihat dengan jelas (warna) kedua talinya. Maka turunlah setelahnya redaksi ayat “Minal Fajr” (dari fajar). Dengan itu, mereka tahu, bahwa yang dimaksud dengan itu adalah putihnya pagi.

Diriwayatkan dari Adi bin Hatim, ia bertanya: “Wahai Rosululloh, apakah yang dimaksud dengan (redaksi ayat) “tali putih dari tali hitam? apa benar itu dua tali (yang biasanya)?”. Beliau menjawab: “Sungguh tidurmu berarti terlalu lama, jika sampai bisa melihat dua tali itu!”, kemudian beliau mengatakan lagi: “Tidak, tapi yang dimaksud adalah hitamnya malam, dan putihnya pagi”. (HR. Bukhori). Fajar diibaratkan dengan tali/benang, karena putih yang terlihat memanjang itu seperti benang.

Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- telah menjelaskan tanda fajar shodiq dalam banyak hadits tentang waktu sholat yang telah kami sebutkan, dan atas dasar itulah hisab waktu sholat disusun dengan ketelitian tinggi, yang dikuatkan oleh keterangan resmi dari lajnah ilmiyah yang telah melakukan penelitiannya.

Setelah keterangan ini, maka kepada mereka yang mengatakan dalam hal agama tanpa dasar ilmu, hendaklah mereka takut kepada Alloh, sehingga manusia tidak tersesat dalam agamanya, Alloh telah memperingatkan kepada mereka (yang artinya): “Wahai manusia! Makanlah dari makanan yang halal dan baik, yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu agar berbuat jahat dan keji, dan mengatakan apa yang tidak kamu ketahui tentang Alloh” (al-Baqoroh: 168-169)

Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- juga telah menjelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Azzuhri, dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia mengatakan: Nabi -shollallohu alaihi wasallam- pernah mendengar suatu kaum yang berdebat tentang Alqur’an, maka beliau mengatakan: “Inilah yang merusak umat sebelum kalian, menghantamkan sebagian Kitabulloh dengan sebagian yang lain, padahal sebenarnya Kitabulloh tersebut diturunkan dengan saling membenarkan sebagian yang satu dengan sebagian yang lain, dan tidak mendustakan antara sebagian yang satu dengan sebagian yang lainnya. Maka apa yang kalian ketahui, sampaikanlah! Sedangkan yang tidak kalian ketahui, maka serahkanlah kepada yang mengetahuinya! (HR. Ahmad, no: 6453).

Kepada mereka, janganlah campur-adukkan agama dengan tujuan lain yang dikehendakinya! Yang tidak menginginkan wajah Alloh dan tidak menginginkan tegaknya agama-Nya, maka sesungguhnya kebenaran itu lebih patut untuk diikuti, (Alloh berfirman yang artinya): “Jangalah kalian campur-adukkan kebenaran dengan kebatilan, dan janganlah kamu sembunyikan kebenaran padahal kamu mengetahuinya. Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku'” (Albaqoroh 42-43). Wallohu subhanahu wa ta’ala a’lam.

(c) Fatwa dari Mufti Negara Palestina, Syeikh Muhammad Husein.

(sumber http://www.fpnp.name/arabic/?action=detail&id=30623)

Fatwa tentang keharusan menerapkan jadwal waktu yang resmi untuk sholat dan puasa, pada tanggal 10/9/2009

Kota Al-Quds -Media cetak Palestin-: Mufti Umum untuk Kota Al-Quds dan Negara Palestina, Muhammad Husain, mengeluarkan fatwa tentang wajibnya mengamalkan jadwal waktu yang ditetapkan oleh lembaga resmi yang berkompeten untuk mengeluarkan jadwal waktu sholat dan puasa di Negara Palestina.

Mufti juga memperingatkan dalam jumpa persnya, dari banyaknya usaha untuk menimbulkan keraguan atas keakuratan jadwal waktu sholat tersebut, dengan cara yang dapat menimbulkan keresahan dan kebingungan bagi masyarakat umum, dan itu muncul dari orang-orang yang memiliki ijtihad dan pandangan yang eksklusif dalam memahami nash-nash syar’i yang berhubungan dengan hal ini.

Mufti juga menegaskan, bahwa Jadwal waktu yang ditetapkan, telah disusun oleh lajnah yang ahli dalam bidang fikih, dan juga berpengalaman dalam hal ini, dan penentuan waktu sholat itu berdasar pada pengamatan tanda-tanda yang berhubungan dengan fajar, ghosaq, dan pergerakan matahari dan terbenamnya… sesuai keterangan-keterangan syar’i yang menyebutkan sifat dan batas tanda-tanda alam itu, dan itu telah dipraktekkan sejak bertahun-tahun lamanya.

(Akhirnya) Mufti mengajak kepada siapapun yang memiliki saran dan koreksi sekitar jadwal waktu yang berlaku, untuk memberi tahu langsung kepada lembaga yang berkompeten dalam hal ini, yakni Kementerian Wakaf dan Badan Fatwa Negara Palestina.

(d) Fatwa dari Mufti Saudi Arabia yang lalu, Syeikh Binbaz -rohimahulloh-:

Dalam keterangan resmi, yang dikeluarkan tanggal 22/7/1417  H, dari Mufti Umum Kerajaan Saudi Arabia, yang merangkap sebagai ketua Lembaga Ulama Besar, dan Ketua Kantor penelitian ilmiyah dan fatwa yang lalu, Syeikh Abdul Azin bin Baz -rohimahulloh-, berkaitan tentang jadwal waktu sholat di kalender Ummul Quro,  mengatakan:

Segala puji bagi Alloh, sholawat dan salam atas Nabi kita, keluarga, dan para sahabatnya, wa ba’du:

Karena akhir-akhir ini, banyak suara dari sebagian orang tentang kalender Ummul Quro, yang mengatakan adanya kesalahan dalam penentuan waktu sholat fajar, karena terlalu cepat lima menit atau lebih, maka aku telah menugaskan lajnah yang terdiri dari para ulama, untuk pergi ke luar Kota Riyadh agar jauh dari polusi cahaya, guna mengamati terbitnya fajar dan mengetahui keakuratan kalender yang ada dengan kenyataan.

Dan lajnah itu telah memutuskan dengan kata sepakat, bahwa jadwal waktu dalam kalender itu sesuai dengan waktu terbitnya fajar, dan sungguh tidak benar apa yang disuarakan oleh sebagian orang, tentang terlalu cepatnya jadwal tersebut dari munculnya fajar.

Keterangan ini diberikan untuk menghilangkan keraguan yang membingungkan sebagian orang di dalam sholatnya, dan Alloh-lah yang maha pemberi taufiq dan pemberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Lihat Kitab Thulu’ul Fajris Shodiq: 31-32)

(e) Fatwa Syeikh Sholeh Fauzan

(sumber: http://www.alradnet.com/TopSin/article.php?id_Hour=72)

Belum lama ini, kita melihat sebagian orang ingin merubah cara ini, mereka menampakkan pendapatnya pada masalah-masalah yang tidak sepatutnya mereka menampakkan pendapatnya, sehingga menjadikan masyarakat bingung dalam urusan ibadah, mu’amalah dan akidah mereka. Seperti ikut campur mereka dalam masalah waktu sholat, mereka mulai membuat masyarakat ragu-ragu terhadapnya, dan menyebarkan isu bahwa orang-orang mendirikan sholat sebelum masuk waktunya. Mereka mengatakan, dalam kalender Ummul Quro ada kesalahan hisab, padahal itu merupakan kalender yang ditetapkan oleh waliyul amri, dan ditetapkan oleh para ulama sejak dahulu kala, dan tidak pernah terjadi kesalahan dalam prakteknya sejak puluhan tahun yang lalu.

Ada juga fatwa beliau yang berupa rekaman suara, anda bisa dengar dari link berikut ini:

http://www.midad.me/mediaFrame/fatwa/337790/337790

(f) Observasi dari Syeikh Abu Bakar Al-Jazairi dan banyak thullab ilmi di masanya.

Diceritakan bahwa Al-Allamah Syeikh Abu Bakar Al-Jazairi ketika mengunjungi Kota Iskandariyah (Ibu Kota Mesir) tahun 1406 H, ia keluar bersama sekelompok besar thullabul ilmi pilihan yang ada di Kota itu -diantaranya: Syeikh Muhammad bin Isma’il al-Muqoddam, Syeikh Ahmad Farid, Syeikh Sayyid Al-Ghobbasyi, Syeikh Imad Abdul Ghofur, dan yang lainnya- dengan beberapa mobil di pantai utara, untuk mengamati fajar shodiq dan fajar kadzib, karena pada saat itu telah tersebar tulisannya Syeikh Abdul Malik al-Kulaib, yang isinya membuat orang ragu dengan (keakuratan) kalender resmi, ia mengklaim bahwa waktu yang benar itu setelah waktu yang tertera di kalender 2. menit lamanya.

Oleh karena itu, mereka keluar, lalu syeikh Abu Bakar memperlihatkan kepada mereka, bahwa fajar shodiq itu muncul sesuai dengan kelender resmi yang berlaku di Negara Mesir. Dan mereka semua melihat dengan mata kepala sendiri, kadang fajar shodiq itu muncul setelah waktu yang ada di kalender 2 atau 3 menit saja, tapi Syeikh Abu Bakar memberitahu mereka, bahwa keterlambatan munculnya fajar, selama 2 menit itu karena kesalahan mereka, sehingga waktu kalender itu sudah benar.

Syeikh juga memberitahu mereka bahwa ia telah lama hidup di pedesaan, dan mempunyai pengalaman yang cukup dalam hal mengamati masuknya waktu shalat dengan mata telanjang. Oleh karena itu, kami tidak mungkin mendustakan apa yang kami lihat dengan mata kami, hanya karena hisab dan teori orang lain. Dan isu yang serupa juga dihembuskan di Negara Saudi, lalu Lajnah Da’imah telah menugaskan tim untuk mengamati waktu fajar dengan pandangan mata, dan mereka menyatakan bahwa kalender Ummul Quro itu akurat. (Lihat Thulu’ul Fajris Shodiq, hal: 23-24)

(g) Observasi dari Syeikh Muhammad alu Abdil Muhsin Ad-Du’aij, tahun 1938:

Dr. Sholih bin Muhammad al-Ujairi, seorang peneliti falak terkenal dari Negara Kuwait, mengatakan: “Aku masih ingat, pada tahun 1938 M, Muhammad alu Abdil Muhsin Ad-Du’aij –rohimahulloh- bercerita padaku, bahwa ia dahulu mengamati terbitnya fajar dengan menggunakan kalender as-Shobbagh yang berlaku di Negeri Mesir, dan hasilnya mendekati benar di semua musim sepanjang tahun”. (Thulu’ul Fajris Shodiq, hal: 148)

(h) Observasi dari lembaga IPTEK “Madinah Malik Abdul Aziz” :

Prof. Dr. Ibrohim As-Shubaihi mengatakan: Lembaga IPTEK Madinah Malik Abdul Aziz, telah membentuk lajnah kedua yang terdiri dari 6 peneliti falak untuk kajian “syafaq” pada tahap kedua. Lajnah tersebut pada tahun 1427 H, telah melakukan kegiatan kunjungan ke beberapa propinsi di Kerajaan Saudi Arabia, diantaranya adalah propinsi bagian utara, dan mereka melihat bahwa shubuh terbit setelah jadwal yang tertera dalam kalender Ummul Quro sekitar 3 menit, yakni mendekati derajat 18,5.

Ini menjadi bukti keakuratan kalender Ummul Quro, dan menafikan pendapat yang mengatakan bahwa waktu shubuhnya didasarkan pada fajar kadzib. Ini juga menjadi saksi benarnya apa yang ditetapkan oleh Syeikh Abdulloh Al-Khudhoiri (dalam pengamatannya dengan mata telanjang). Dan kesaksian lajnah tersebut (pada tahap kedua ini) bertentangan dengan ketetapan yang mereka buat pada tahap pertamanya. (Thulu’ul Fajris Shodiq, hal: 152)

(i) Fatwa dari Syeikh Abdulloh bin Sulaiman bin Mani’ (Anggota dari Hai’ah Kibar Ulama di Negara Saudi)

Soal: Bismillahirrohmanirrohim, aku mohon agar kalian mau menjelaskan padaku hukum syar’i dalam masalah ini. Ada seseorang yang menyebarkan tulisan berjudul “Tanbihul anam bibuthlani sholatil fajri fil masjidil harom” (peringatan bagi manusia, tentang batalnya sholat fajar di masjidil harom), orang ini beranggapan bahwa sholat fajar di masjidil harom makkah itu tidak sah, karena mereka sholat sebelum masuk waktunya. Apa pendapat kalian dalam masalah ini? Apa penilaian kalian terhadap orang seperti ini dan yang lainnya dalam tindakannya membuat keraguan terhadap kalender yang ada? Jazakamullohu khoiro.

Jawab: Segala puji bagi Alloh, tak diragukan lagi bahwa pendapat ini batil dan sama sekali tidak benar, karena masalah penentuan waktu sholat itu telah diserahkan kepada lajnah yang ahli dalam ilmu syar’i dan ilmu falak. Lajnah itu telah berusaha dan akan terus berusaha untuk mengurusi masalah itu, dan teliti dalam menentukan jadwal waktu sholat. Alhamdulillah lajnah ini telah menjalankan tugasnya dan dia yang akan bertanggung-jawab penuh atasnya.

Ucapan mereka itu, termasuk dalam sikap berlebih-lebihan dalam agama, padahal Rosul kita -shollallohu alaihi wasallam- telah bersabda: “Janganlah kalian berlebih-lebihan, karena hal itu telah merusak umat sebelum kalian!”. (HR. Nasa’i:3057 dan Ibnu Majah: 3029) dari hadits riwayat Ibnu Abbas –rodhiallohu anhuma-.

Itu juga termasuk dalam sikap waswas dan tanaththu’ (ekstrim), padahal Rosul -shollallohu alaihi wasallam- telah bersabda: “Binasalah orang-orang yang tanaththu’” (HR. Muslim: 2670) dari hadits riwayat Ibnu Mas’ud -rodhiallohu anhu-.

Oleh karena itu, hendaknya kita tidak menghiraukan pendapat-pendapat yang seperti ini, yang bersumber dari terkaan dan jauh dari kenyataan, serta tidak percaya kepada lembaga yang ahli dalam bidangnya dan memiliki kelebihan dalam bidang ilmu syariat dan ilmu falak. Wajib bagi kita untuk membuang jauh pendapat seperti ini dan jangan sampai menghiraukannya, karena ini merupakan tindakan skeptis yang tidak pada tempatnya, ditambah lagi mereka tidak memiliki dalil nyata yang mendukungnya. Adapun kalender Ummul Quro, ia disusun atas dasar ketentuan yang mendetail, baik dalam hal yang berhubungan dengan observasi maupun dalam hal yang berhubungan dengan hisab falak yang sekarang telah diakui dan digunakan, dalam hal yang berhubungan dengan masalah ini, wallohu a’lam.

(j) Syeikh al-Utsaimin dalam liqo’ bab maftuh.

Soal: Yang terhormat Syeikh Abdul Aziz bin Baz -hafidhohulloh- telah mengeluarkan fatwa bahwa kalender Ummul Quro dalam adzan shubuh, benar-benar sesuai dengan terbitnya fajar di Kota Riyadh, apakah hal ini bisa diterapkan pada semua kota di kerajaan Saudi Arabia?

Jawab: Demi Alloh aku tidak tahu, andai saja kalian menanyakan kepadanya! Karena dia yang mengeluarkan penjelasan itu. Masalahnya sederhana, karena perbedaannya -sebagaimana pendapat yang kami pilih- hanya 5 menit saja, dan apabila ia mengakhirkan 5 menit dari waktunya, maka itu tidak ada bedanya, meski ia mengatakan: “Barangsiapa mengambil manfaat sesuatu, maka hendaknya ia menanggung pula resikonya”. Yang terpenting adalah masalah sholat fajar, adapun masalah puasa, jika ia terlalu cepat 5 menit, itu tidak ada bedanya.

Penanya: (Bagaimana) jika untuk puasanya ia mengakhirkan 5 menit dari waktu kalender?

Syeikh: Jika dikatakan kalender itu benar dan dia berhenti makan sebagaimana jadwal di kalender, sedang kita mengatakan bahwa yang benar itu terlalu cepat 5 menit, maka hal ini tidak menjadi masalah. Yang penting adalah sholatnya, di dalam masalah sholat, jika ia mengakhirkan sholat 5 menit untuk hati-hati, itu tidak masalah.

Penanya: Masalahnya, mengakhirkan waktu berhenti makan untuk puasanya, para muadzin sekarang mengakhirkan adzannya hingga 10 atau 15 menit dari kalender?

Syeikh: Sesuatu yang datang dari Mufti Kerajaan (Saudi Arabia) tidak boleh kita ikut campur di dalamnya, dan selamanya kita tidak boleh menyelisihinya. Tapi kita katakan, khusus yang berkenaan dengan sholat, seseorang hendaknya berhati-hati dengan mengakhirkan sholatnya 5 menit, itu tidak masalah.

(k) MUI Yogyakarta tanggapi kontroversi sholat subuh (Jumat, 28 Agustus 2009)

YOGYA (KRjogja.com) – Terkait munculnya selebaran yang marak beredar di masyarakat mengenai jadwal waktu subuh yang menyesatkan, MUI DIY menghimbau kepada masyarakat untuk tetap waspada terhadap segala hal yang dapat memecah belah umat Islam.

Seperti disampaikan Sekretaris MUI DIY, KRT Ahmad Muhsin Kamaludiningrat, pihaknya beberapa waktu lalu mendapatkan keluhan dari takmir Masjid Gedhe Kauman mengenai jadwal waktu shalat subuh yang digunakan di Indonesia dan negara-negara lain, tidak sesuai dengan syariat Islam dan salah kaprah.

“Mendapat usulan tersebut, kami langsung menggelar pertemuan dengan seluruh jajaran MUI DIY guna membahas akar permasalahannya supaya tidak menimbulkan konflik horizontal serta perpecahan umat Islam itu sendiri,” jelasnya kepada KRjogja.com, Jumat (28/8) siang.

Oleh karena itu, MUI DIY telah mengeluarkan maklumat kepada seluruh umat muslim, bahwa jadwal shalat subuh yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun ormas Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, adalah hasil hitungan para ulama dan ahli syar’i. Sehingga jadwal tersebut sudah sesuai dengan syar’i yang bersumber pada Al-qur’an dan Sunnah Rasul.

“Kami harap, masyarakat Muslim, khususnya yang berada di Yogyakarta untuk tidak ragu dan resah menggunakan jadwal tersebut dalam melakukan ibadah shalat, termasuk awal shalat subuh. Masyarakat juga harus waspada terhadap upaya-upaya yang dapat memecah belah umat Islam,” tegas Ahmad Muhsin.

Sementara itu, Ketua Takmir Masjid Gedhe, Budi Setiawan, saat dikonfirmasi KRjogja.com membenarkan hal tersebut. “Selebaran mengenai jadwal waktu subuh yang dinilai menyesatkan tersebut diambil dari sebuah artikel dalam majalah Qiblati. Sebenarnya dalam dunia maya hal itu sudah muncul sejak akhir Juli lalu dan sempat membuat gempar masyarakat Muslim,” ujarnya.

Isi selebaran menjelaskan jika waktu awal subuh yang selama ini digunakan terlalu cepat 22 menit sehingga belum masuk waktu subuh yang sebenarnya. Hal itu disertai dengan penjelasan-penjelasan yang dapat melemahkan umat Islam. “Lebih jelasnya silahkan searching di internet dengan kata kunci shalat subuh salah kaprah,” pungkasnya. (Dhi)

(l) Jawaban dari T. Djamaludin (Anggota BHR Depag RI/Peneliti Utama Astronomi-Astrofisika LAPAN)

Catatan: Beberapa waktu lalu di majalah Qiblati (yang dikutip juga oleh beberapa blog) ada serangkaian tulisan bertema “Salah Kaprah Waktu Shubuh”. Dalam pertemuan Badan Hisab Rukyat (BHR) Depag RI di Jakarta, 3-4 Agustus 2009 lalu, masalah tersebut sempat dibahas dan saya diminta untuk menuliskan tanggapannya untuk menjadi pencerahan bagi masyarakat. Catatan di bawah ini adalah hasil kajian lengkapnya sebagai tindak lanjut diskusi di BHR tersebut.

Jadwal Waktu Shubuh Terlalu Cepat?

Waktu shubuh ditinjau dari dalil syar’i dan astronomi

Penentuan waktu shubuh diperlukan untuk penentuan awal shaum (puasa) dan shalat. Tentang waktu awal shaum disebutkan dalam Al-Quran, “… makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” (QS 2:187). Sedangkan tentang awal waktu shubuh disebutkan di dalam hadits dari Abdullah bin Umar, “… dan waktu shalat shubuh sejak terbit fajar selama sebelum terbit matahari” (HR Muslim). Fajar yang bagaimana yang dimaksudkan tersebut? Hadits dari Jabir merincinya, “Fajar ada dua macam, pertama yang melarang makan, tetapi membolehkan shalat, yaitu yang terbit melintang di ufuk. Lainnya, fajar yang melarang shalat (shubuh), tetapi membolehkan makan, yaitu fajar seperti ekor srigala” (HR Hakim). Dalam fikih kita mengenalnya sebagai fajar shadiq (benar) dan fajar kidzib (palsu).

Lalu fajar shadiq seperti apakah yang dimaksud Rasulullah SAW? Dalam hadits dari Abu Mas’ud Al-Anshari disebutkan, “Rasulullah SAW shalat shubuh saat kelam pada akhir malam, kemudian pada kesempatan lain ketika hari mulai terang. Setelah itu shalat tetap dilakukan pada waktu gelap sampai beliau wafat, tidak pernah lagi pada waktu mulai terang.” (HR Abu Dawud dan Baihaqi dengan sanad yang shahih). Lebih lanjut hadits dari Aisyah, “Perempuan-perempuan mukmin ikut melakukan shalat fajar (shubuh) bersama Nabi SAW dengan menyelubungi badan mereka dengan kain. Setelah shalat mereka kembali ke rumah tanpa dikenal siapapun karena masih gelap.” (HR Jamaah).

Karena saat ini waktu-waktu shalat lebih banyak ditentukan berdasarkan jam, perlu diketahui kriteria astronomisnya yang menjelaskan fenomena fajar dalam dalil syar’i tersebut. Perlu penjelasan fenomena sesungguhnya fajar kidzib dan fajar shadiq. Kemudian perlu batasan kuantitatif yang dapat digunakan dalam formulasi perhitungan untuk diterjemahkan dalam rumus atau algoritma program komputer.

Fajar kidzib memang bukan fajar dalam pemahaman umum, yang secara astronomi disebut cahaya zodiak. Cahaya zodiak disebabkan oleh hamburan cahaya matahari oleh debu-debu antarplanet yang tersebar di bidang ekliptika yang tampak di langit melintasi rangkaian zodiak (rangkaian rasi bintang yang tampaknya dilalui matahari). Oleh karenanya fajar kidzib tampak menjulur ke atas seperti ekor srigala, yang arahnya sesuai dengan arah ekliptika. Fajar kidzib muncul sebelum fajar shadiq ketika malam masih gelap.

Fajar shadiq adalah hamburan cahaya matahari oleh partikel-partikel di udara yang melingkupi bumi. Dalam bahasa Al-Quran fenomena itu diibaratkan dengan ungkapan “terang bagimu benang putih dari benang hitam”, yaitu peralihan dari gelap malam (hitam) menunju munculnya cahaya (putih). Dalam bahasa fisika hitam bermakna tidak ada cahaya yang dipancarkan, dan putih bermakna ada cahaya yang dipancarkan. Karena sumber cahaya itu dari matahari dan penghamburnya adalah udara, maka cahaya fajar melintang di sepanjang ufuk (horizon, kaki langit). Itu pertanda akhir malam, menjelang matahari terbit. Semakin matahari mendekati ufuk, semakin terang fajar shadiq. Jadi, batasan yang bisa digunakan adalah jarak matahari di bawah ufuk.

Secara astronomi, fajar (morning twilight) dibagi menjadi tiga: fajar astronomi, fajar nautika, dan fajar sipil. Fajar astronomi didefinisikan sebagai akhir malam, ketika cahaya bintang mulai meredup karena mulai munculnya hamburan cahaya matahari. Biasanya didefinisikan berdasarkan kurva cahaya, fajar astronomi ketika matahari berada sekitar 18 derajat di bawah ufuk. Fajar nautika adalah fajar yang menampakkan ufuk bagi para pelaut, pada saat matahari berada sekitar 12 derajat di bawah ufuk. Fajar sipil adalah fajar yang mulai menampakkan benda-benda di sekitar kita, pada saat matahari berada sekitar 6 derajat.

Fajar apakah sebagai pembatas awal shaum dan shalat shubuh? Dari hadits Aisyah disebutkan bahwa saat para perempuan mukmin pulang dari shalat shubuh berjamaah bersama Nabi SAW, mereka tidak dikenali karena masih gelap. Jadi, fajar shadiq bukanlah fajar sipil karena saat fajar sipil sudah cukup terang. Juga bukan fajar nautika karena seusai shalat pun masih gelap. Kalau demikian, fajar shadiq adalah fajar astronomi, saat akhir malam.

Apakah posisi matahari 18 derajat mutlak untuk fajar astronomi? Definisi posisi matahari ditentukan berdasarkan kurva cahaya langit yang tentunya berdasarkan kondisi rata-rata atmosfer. Dalam kondisi tertentu sangat mungkin fajar sudah muncul sebelum posisi matahari 18 di bawah ufuk, misalnya saat tebal atmosfer bertambah ketika aktivitas matahari meningkat atau saat kondisi komposisi udara tertentu – antara lain kandungan debu yang tinggi – sehingga cahaya matahari mampu dihamburkan oleh lapisan atmosfer yang lebih tinggi. Akibatnya, walau posisi matahari masih kurang dari 18 derajat di bawah ufuk, cahaya fajar sudah tampak.

Para ulama ahli hisab dahulu sudah merumuskan definisi fajar shadiq dengan kriteria beragam, berdasarkan pengamatan dahulu, berkisar sekitar 17 – 20 derajat. Karena penentuan kriteria fajar tersebut merupakan produk ijtihadiyah, perbedaan seperti itu dianggap wajar saja. Di Indonesia, ijtihad yang digunakan adalah posisi matahari 20 derajat di bawah ufuk, dengan landasan dalil syar’i dan astronomis yang dianggap kuat. Kriteria tersebut yang kini digunakan Departemen Agama RI untuk jadwal shalat yang beredar di masyarakat.

Kalau saat ini ada yang berpendapat bahwa waktu shubuh yang tercantum di dalam jadwal shalat dianggap terlalu cepat, hal itu disebabkan oleh dua hal:

Pertama, ada yang berpendapat fajar shadiq ditentukan dengan kriteria fajar astronomis pada posisi matahari 18 derajat di bawah ufuk, karena beberapa program jadwal shalat di internet menggunakan kriteria tersebut, dengan perbedaan sekitar 8 menit.

Kedua, ada yang berpendapat fajar shadiq bukanlah fajar astronomis, karena seharusnya fajarnya lebih terang, dengan perbedaan sekitar 24 menit. Pendapat seperti itu wajar saja dalam interpretasi ijtihadiyah.

Melihat realita banyaknya ulama yang mendukung penanggalan yang ada sekarang di negara masing-masing, masih pantaskah kita mengklaim bahwa kebenaran itu mutlak ada pada kita…?! sedang orang yang tidak sepaham dengan kita dalam masalah ini mutlak salahnya, tanpa ada kemungkinan benarnya sedikit pun…?! Masih pantaskah kita, dengan keyakinan penuh menghukumi batal sholatnya Umat Islam di seluruh dunia?! Mari memohon ampun kepada Alloh atas dosa-dosa yang kita perbuat, baik secara sadar maupun tidak, dan marilah kita hormati pendapat orang lain, meski tidak sejalan dengan kita, asal masih dalam ranah ijtihadiyyah

(bersambung…)

Komentar
  1. Abu abdullah almaidany berkata:

    “Bagaimanakah kita salahkan ijtihad orang lain tanpa mau menyalahkan ijtihad kita. Sungguh ini adalah bentuk kezaliman dan permusuhan dalam penilaian terhadap pendapat” (Kutub wa Rasail Ibnu Utsaimin 208/12-13, pertanyaan no 772, Maktabah Syamilah)”

    jazakallah khair ustadz atas tulisaannya,sangat bermanfaat buat saya dan keluarga….semoga Allah membawa ubun2 kita pada kebenaran…

  2. Oedin berkata:

    pro ru’yah :”untuk waktu subuh hendaklah kita sholat setelah fajar shodiq sudah keluar jangan berpatokan pada jadwal karena ada kemungkinan salah…”
    pro hisab :”tidak usah ekstrim sampai menyuruh semua orang melihat sendiri fajar shodiq MAYORITAS ULAMA membenarkan jadwal yang ditentukan ahli falaq..”
    mushollin :”waduh gimana nih saya bingung…?”
    pro ru’yah :”gini lho fajar shodiq itu mudah dilihat karena ia yang memisahkan malam dengan siang jadi awal munculnya gelap perlahan terang sampai terbit matahari..”
    pro hisab :”antum jangan memberatkan umat dong akhi pro ru’yah masak semua orang antum suruh lihat fajar shodiq mereka tidak ahlinya..”
    pro ru’yah :”akhi pro hisab hisab itu alat bantu bukan segala-galanya, dan bukan mustahil jadwal ada yang beleset barang 5 menit, 5 menitpun itu belum masuk waktu subuh..”
    mushollin :”waduh.. kok gegeran dewe ustad2 ini, gimana donk saya sholatnya”
    pro hisab :”jangan ragukan jadwal sholat ini sudah disusun oleh ahlinya ulamapun sudah melakukan pengamatan dan membenarkannya..”
    pro ru’yah : “mushollin..! coba dulu deh sekali dua kali untuk mencoba lihat sendiri.. karena bisa jadi fenomena alamnya berubah, jika kamu lihat fajar shodiq keluar sesuai dengan jadwal berarti memang sudah benar jadwal tersebut”
    pro hisab:”sebenarnya kita tidak memiliki kompeten untuk menyampaikan kesalahan jadwal sholat “yang kita klaim” karena banyak ulama yang telah membenarkan”
    mushollin :”iya.. ya… masak salah kok bareng-bareng mustahil, jadi yang sedikitlah yang pasti salah.. ya wis setuju dengan pro hisab”
    pro ru’yah :”baiklah kalo mayoritas ulama sudah sepakat tentang kebenaran jadwal tersebut apakah semua ilmu hisab mutlaq semua bisa diterima..”
    pro hisab : “maksud antum gimana..”
    pro ru’yah : “saya pernah mendapati bahwa hisab di negara ini saat puasa Arofah itu jatuhnya keesokan harinya setelah jamaah haji wuquf..”
    pro hisab :”ooo itu beda… kalo itu kita puasa ikut saat jamaah haji wuquf… wong namanya puasa Arofah”
    pro ru’yah :”lo.. kan menentang pemerintah jadinya.., kalau saran saya lihat dulu deh insya Allah mudah koq melihat Fajar Shodiq, dan gak nggigit kok fajar Shodiq.. gak usah takut, klo katanya2 aja kok kayaknya jadi meragukan, kalau kamu ragu sudah muncul apa belum maka berarti belum masuk waktu subuh”
    pro hisab : kalau tidak ragu kan berarti sudah masuk
    pro ru’yah : bagaimana antum ini akhi.. yang melihat mengatakan belum muncul tapi karena jadwal sholat sudah menentukan sudah muncul antum tidak ragu dengan jadwal yang antum ragukan malah yang melihat…. ajiiib..
    mushollin : ya wis tak coba lihat barang sekali atau dua kali ciri-cirinya seperti yang anda terang kan pro ru’yah..
    pro ru’yah : iya.. nanti kabari saya ya… semoga Allah membalas usahamu
    pro hisab : kalau ana lebih memilih pendapat Mayoritas Ulama saja.. dan tidak seharusnya semua orang disuruh mencoba mengamati sangat memberatkan umat..!
    pro ru’yah : kalau saya yang memberatkan ya… yang tidak mau melihat sendiri dan mengatakan ru’yah memberatkan

    • addariny berkata:

      Dialog yang menarik dan bagus, tapi sayang kubunya penulis kok ga dimasukkan ya..? Poros tengah yang pro ru’yah dan pro hisab…

  3. Gembul berkata:

    Apakah menentukan fajar shodiq termasuk ijtihadiyyah?
    Bukankah hal ini pasti dan bisa dilihat langsung oleh mata seperti jaman Rasul SAW?

    • addariny berkata:

      Afwan, yang ijtihadiyyah itu sifat fajar shodiqnya… dengan perbedaan masalah sifat fajar shodiqnya, sehingga ada perbedaan pendapat kapan masuk waktu shubuhnya….
      Sudah jelas hal itu bisa dilihat di zaman Rosul shollallohu alaihi wasallam… Melihat fajar seperti melihat bintang… Dahulu sebelum zaman industri, bintang2 gampang dilihat dengan mata, tapi sekarang, apalagi yang hidupnya di kota, hanya sedikit bintang yang terlihat…

  4. Oedin berkata:

    Klo saya pro musholin yg dgn kapasitasnya tidak menyalahkan pro ruyah dan pro hisab. dia menerima dalil dan berusaha mencari kebenaran. tidak berkomentar dengan apa yang ia tidak ketahui

    • addariny berkata:

      Musholin di dialognya sangat kasihan, sebagai seorang awam, ia terombang ambing keadaan… Udah gitu ketika mau ru’yah harus dengan ciri-ciri fajar shodiq yang dipilih pro ru’yah… Padahal permasalahan utama kan ciri-ciri pada fajar shodiq-nya… Andaikan ia mengambil ciri-ciri fajar shodiq itu dari Alqur’an dan pendapat mayoritas ulama, tentu akan lebih menjembatani kedua kubu yang ada…
      Syukron atas komennya, dan atas kata-kata antum “yang tidak berkomentar dengan apa yang ia tidak ketahui”… Penulis berharap kita semua, tidak termasuk dalam kategori orang seperti itu… wassalam

  5. sandhi berkata:

    Kenapa siih pake dibantah berpanjang-panjang? Cukup Anda lihat ke Timur di akhir malam. Lalu perhatikan adakah cahaya fajar itu dan garis kemerahan. Jika sudah tampak, maka itulah waktu shubuh kita!!! Bukankah perintah Nabi juga adalah meRUKYAT (melihat) ??? Dan perintah itu kepada siapa saja termasuk orang yang awwam. Kenyataannya memang mudah koq merukyat itu.
    Carilah daerah yang gelap, lalu lihat. Selesai!!!!
    Jadi Anda ini hasad atau dengki siiih???
    Gak perlu laah beragam argumentasi!!!

    Hasil observasi (rukyat) menunjukkan ternyata jadwal waktu shalat Shubuh di Indonesia, yang mendasarkan pada kriteria -20°, adalah lebih cepat dan lebih dini hingga 24 menit dari waktu munculnya Fajar Astronomi atau Fajar Shodiq. Pembuktian ini memperkuat pernyataan DR. T. Djamaluddin bahwa penampakan cahaya fajar di bawah -18° adalah jarang sekali kecuali akan sangat mungkin apabila pada kondisi dan sebab-sebab tertentu.
    Jadi, bila kita menerapkan kriteria di antara -18° hingga -15° atau setelah 8 menit hingga 24 menit kemudian dari jadwal shalat Shubuh yang beredar saat ini maka hal ini adalah lebih selamat dan lebih memberikan ketenangan hati untuk memulai waktu Shubuh.
    Atau … dengan melakukan observasi (rukyat) di akhir malam setiap hari! (Sandhi)

    • addariny berkata:

      Akhi, apa dengan artikel-artikel ini, anda paham ana melarang orang merukyah fajar?! Apa anda paham ana melarang umat islam indonesia untuk mengoreksi Jadwal DEPAG?!… Jika demikian, berarti antum salah besar… Ana sama sekali tidak melarang rukyah fajar..! dan ana sama sekali tidak melarang orang untuk melakukan koreksi pada jadwal sholat dari DEPAG..! Yang ana koreksi hanyalah kriteria fajar shodiq mana yang dipakai..?!

      Antum mengatakan: “Cukup Anda lihat ke Timur di akhir malam. Lalu perhatikan adakah cahaya fajar itu dan garis kemerahan. Jika sudah tampak, maka itulah waktu shubuh kita!!!”… Dari mana antum menyaratkan adanya garis merah itu? Padahal mayoritas ulama islam sejak dahulu kala, tidak menyaratkannya… (coba lihat artikel seri 6 -jika antum mau mendengar saran dari orang lain-)

      Meski sama-sama melakukan observasi, tapi bila kriteria fajarnya berbeda, maka tentunya waktu yang dihasilkan dari observasi akan berbeda jauh…

      Antum katakan: “Jadi anda ini hasad atau dengki siiiih???”
      Akhi, apa antum tidak sisakan kemungkinan adanya kebaikan untuk saudara antum sesama muslim, tolong dalam membahas masalah, jauhkan kata-kata semacam itu… Bukankan Alloh berfirman: “wajaadilhum billati hia ahsan”?!… bukan Rosul -shollallohu alaihi wasallam- mengajarkan pada kita akhlak yang mulia?!…

      Antum katakan: “Atau … dengan melakukan observasi (rukyat) di akhir malam setiap hari!”
      Silahkan antum lakukan itu, ana tidak menghalanginya… atau kalau pingin lebih sempurna, jangan pakai jadwal di kalender sama sekali, dan lakukan rukyat tanda waktu sholat setiap hari lima kali… karena itulah konsekuensi orang yang melarang kita menggunakan jadwal sholat yang tertera dalam kalender…

      Mohon maaf kami cut komen antum, karena terlalu panjang dan isinya sudah ana baca sebelumnya…
      wassalam

  6. Arif berkata:

    ustadz tanya :
    kalau boleh tahu ustadz sholat subuhnya mengikuti jadwal DEPAG, ISNA, UMMUL QURO, atau 10,20,25 menit setelah jadwal UMMUL QURO, atau yang lain…?
    kalau dikatakan sudut yang dipakai tidak bisa sama seperti keterangan ustad di bagian pertama mengapa semua badan tersebut menggunakan derajat 0 untuk syuruq-nya harusnyakan dengan teori ustad harus beda derajatnya..

    • addariny berkata:

      Ana sekarang berada di Saudi, dan di sini memakai metode Ummul Quro… dan pemerintah saudi, dari dulu menerapkan aturan jarak antara adzan dan iqomat di setiap waktu sholat…

      Dzuhur: Antara adzan dan Iqomat +- 15 menit
      Ashar: Antara adzan dan Iqomat +- 20 menit
      Maghrib: Antara adzan dan Iqomat +- 10 menit
      Isya’: Antara adzan dan Iqomat +- 15 menit
      Subuh: Antara adzan dan Iqomat +- 20 menit

      Maksud antum teori yang mana?
      Semua ahli sepakat munculnya matahari dimulai dari +0 derajat. Tidak ada yang mempermasalahkan hal itu.
      Yang menjadi masalah adalah Fajar shodiq yang bagaimanakah yang dikehendaki? lalu jika diterapkan dengan hitungan falak ada pada derajat berapa?
      Dari sinilah muncul beberapa versi yg ada dilapangan…

      Dan menurut hemat ana, tidak seharusnya orang-orang yang tidak mempunyai kapasitas, ikut-ikutan mengurusi masalah ini, berilah masukan kepada pihak yang berkompeten! dan bekerja-samalah dengan mereka! Tentunya lembaga-lembaga itu dibentuk untuk digunakan dan dimanfaatkan oleh umat… bukan kita kerja sendiri-sendiri, hingga banyak energi terkuras tapi hasilnya kurang bisa diharapkan…

      Afwan wa syukron

  7. […] Siapa yg SALAH kaprah ttg SUBUH?! (5)Rated 5/5 (6 Votes) […]

Tinggalkan Balasan ke Oedin Batalkan balasan