Bahasan kita kali ini, tentang masalah AKIDAH WALA’ WAL BARO’… Hal ini sangat erat kaitannya dg praktek terorisme yg dilakukan oleh kelompok yg mengaku sedang “memperjuangkan Islam” dg praktek membuang bom di sembarang tempat, padahal hasil akhirnya sangat merugikan Islam, dan mencoreng wajah Islam yg mulia…
Bermula dari kesalahan dalam memahami akidah wala’ wal baro’ inilah, mereka kemudian mudah mengafirkan saudaranya sesama muslim… mulai dari mengafirkan penguasanya, lalu mengafirkan mereka yg mendukungnya, lalu mengafirkan mereka yg tidak mengingkarinya… Kemudian mereka menghalalkan darah dan harta orang yg mereka anggap telah kafir… Dan akhirnya banyak dari mereka yg terjerumus dalam praktek terorisme… Sungguh suatu amalan yg sangat buruk dan keji, tapi hal itu mereka anggap sebagai amalan ibadah yg memiliki kedudukan tinggi… mereka menganggapnya sebagai amalan jihad fisabilillah, dan menjadi syahid orang mati karenanya…
Wajar saja, jika setan lebih menyenangi bid’ah daripada maksiat… Karena dengan bid’ah, setan bisa menjerumuskan seseorang ke dalam suatu dosa -betapapun besarnya- tanpa menimbulkan rasa bersalah dari pelakunya… Dengan demikian, ia tidak akan istighfar dan taubat dari dosanya, karena ia menganggap amalan dosanya sebagai ketaatan bukan kemaksiatan… Adapun maksiat, meski setan banyak menjerumuskan seseorang ke dalamnya, tp karena pelakunya masih menganggapnya dosa dan kesalahan, maka banyak sekali dari mereka yg akhirnya istighfar dan taubat, hingga mendapat ampunan dari-Nya… Padahal Rosul -shollallohu alaihi wasallam- telah bersabda: “Orang yg bertaubat dari dosa, itu seperti orang yg tidak ada dosa padanya”…
Telah banyak contoh dalam sejarah Islam, lihatlah bagaimana para pembunuh kholifah ketiga Utsman bin Affan menganggap amalan mereka itu sebagai ibadah… Lihat pula bagaimana pembunuh kholifah keempat Ali bin Abi Tholib, menganggap amalannya (membunuh menantu Nabi –shollallohu alaihi wasallam-) dapat mendekatkan dirinya kepada Alloh… dan sejarah akan terus mengulang dirinya…
Bahasan masalah ini, merupakan pembahasan yg sangat penting dan juga sangat berbahaya… Oleh karenanya kami juga sangat berhati-hati dalam memilih rujukannya… Tulisan ini sebenarnya, terjemahan bebas dari ceramah yg disampaikan oleh Syeikh Dr. Sulaiman Ar-Ruhaili Al-Ushuli, di Kota Madinah, tepatnya di Masjid Quba’… Beliau adalah seorang ulama Ahlussunnah ternama di Kota Madinah, sangat terkenal dg kepakarannya dalam bidang fikih, ushul fikih, dan ilmu syariat lainnya… Semoga sedikit sumbangsih ini, dapat diambil manfaat oleh segenap kaum muslimin, amin…
Selanjutnya kami persilahkan anda menikmati uraian ilmiah dari beliau –hafizhohullohu ta’ala–
(Bagi yg ingin mendengarkan langsung ceramah ini dalam bahasa arabnya, bisa mencari di internet dg kata kunci: الولاء والبراء للشيخ سليمان الرحيلي)
Bismillahirrohmanirrohim…
Segala puji bagi Alloh… Kita memuji-Nya, meminta pertolongan-Nya, dan memohon ampunan-Nya… Kita juga berlindung pada Alloh dari segala keburukan diri kita dan kejelekan amal kita… Barangsiapa diberi petunjuk oleh-Nya, maka tiada seorang pun yg mampu menyesatkannya. Dan barangsiapa disesatkan-Nya, maka tidak ada seorang pun yg mampu memberinya petunjuk.
Aku bersaksi bahwa tiada Ilah yg berhak disembah melainkan Alloh semata, yg tiada sekutu bagi-Nya… Dan aku juga bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rosul-Nya…
“Wahai orang-orang yg beriman, bertakwalah kalian kepada Alloh dg sebenar-benar takwa, dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan muslim”
“Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian, yang menciptakan kalian dari diri yg satu (Adam), dan juga menciptakan pasangannya (Hawa) dari dirinya, kemudian dari keduanya Alloh mengembangkan menjadi laki-laki dan perempuan yg banyak. Bertakwalah kepada Alloh yg dengan (nama) itu kalian meminta, dan (peliharalah) hubungan kekerabatan. Sesungguhnya Alloh selalu menjaga dan mengawasi kalian”
“Wahai orang-orang yg beriman, bertakwalah kepada Alloh dan ucapkanlah perkataan yg benar. Niscaya Dia akan memperbaiki amal-amal kalian, dan mengampuni dosa-dosa kalian. Barangsiapa taat kepada Alloh dan Rosul-Nya, maka sungguh ia telah menang dg kemenagan yg agung” Amma ba’du:
Sungguh sebaik-baik ucapan adalah Kitabulloh, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad -shollallohu alaihi wasallam-… Sedang sejelek-jelek perkara adalah sesuatu yg baru (dalam agama), dan setiap perkara yg baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat, dan setiap kesesatan itu di Neraka.
Para pembaca yg kami hormati…
Pembahasan kita kali ini mengenai masalah yg sangat agung kedudukannya, jelas dalilnya, dan hanya satu kebenaran di dalamnya… Kebenaran dalam masalah ini berada di tengah-tengah antara sikap berlebihan dan sikap menyepelekan… Masalah ini begitu terang dan tidak ada kesamaran di dalamnya… Itulah akidah WALA’ WAL BARO’…
Para pembaca yg kami hormati…
Sungguh Agama Islam adalah agama yg sempurna… Agama ini telah disempurnakan oleh Tuhan yg Mahabijaksana dan Mahamengetahui… Tuhan yg tahu apapun yg telah terjadi, akan terjadi, dan yg tidak terjadi bagaimana seandainya ia terjadi…
Alloh telah menganugerahkan pd kita kesempurnaan Agama Islam ini, sebagai bentuk pemberian dan nikmat yg sangat besar dan agung, Dia berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini, Aku telah sempurnakan agama kalian untuk kalian, Aku telah melengkapkan nikmat-Ku untuk kalian, dan Aku telah meridloi Islam sebagai agama kalian”…
Alloh jg telah memberi jaminan untuk menjaga keotentikan agama ini, meski zaman dan tempat terus berubah, sebagaimana firman-Nya:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sungguh kami telah menurunkan adz-Dzikr (Alqur’an), dan kami jugalah yg akan menjaganya”.
Alloh telah meletakkan seluruh kebaikan dalam agama ini… sehingga tiada kebaikan, melainkan telah ditunjukkan dan diperintahkan oleh Nabi-Nya –shollallohu alaihi wasallam-… Sebaliknya tiada keburukan, melainkan telah diterangkan dan diperingatkan oleh Nabi-Nya –shollallohu alaihi wasallam-… Dialah Agama yg seluruhnya adalah kebaikan…
Dan diantara masalah yg urgen dan menjadi kebaikan yg agung dalam Islam adalah, adanya aturan tentang bagaimana seorang muslim bergaul dg orang yg hidup bersamanya di muka bumi ini, baik jaraknya jauh ataupun dekat… Lihatlah bagaimana Islam telah mengatur hubungan muslim dg kedua orang tuanya, dg kerabatnya, dg keluarganya, dg tetangganya, dg muslim lain yg taat maupun yg ahli maksiat, bahkan dg non muslim… Islam telah mengatur semuanya dg sangat rapi, dan sangat sempurna… Islam telah menunjukkan kepada muslim jalan yg jelas dan terang di dalamnya… Jika seorang muslim menetapinya, ia akan menjadi baik jalannya, diridloi Tuhannya, tenang hatinya, bahagia jiwanya, jelas tujuannya, serta baik dan makmur buminya…
Diantara aturan yg agung dalam hubungan antara manusia, adalah aturan wala’ wal baro’… Inti dari aturan ini adalah kecintaan dan kebencian… Tidak diragukan lagi, masalah wala’ wal baro’ ini, mempunyai kedudukan yg tinggi, bahkan para ulama islam menggolongkannya dalam masalah-masalah agama yg inti dan agung.
Meski masalah ini tinggi kedudukannya dan jelas dalilnya, tp masih saja ada sebagian Kaum Muslimin yg salah dalam memahaminya… Apalagi di zaman ini… Disaat banyak orang membicarakan hal ini atas nama Islam, dan banyak dari mereka yg sembrono membicarakan sesuatu yg sangat komplek hukumnya, seakan-akan mereka itu para imam yg sangat tinggi ilmunya.
Karena banyaknya orang yg bicara dalam masalah ini, hingga sebagian Kaum Muslimin menjadi bingung, dan sebagian lagi termakan ajakan para penyesat… jadilah sebagian mereka jatuh dalam sikap berlebihan, dan sebagian lagi jatuh dalam sikap menyepelekan.
Kalian bisa melihat bagaimana sebagian Kaum Muslimin berlebihan dalam masalah wala’ wal baro’ ini, hingga mereka memasukkan di dalamnya hal-hal yg tidak ada hubungan dengannya… Sebagai imbasnya mereka tidak segan-segan mengharamkan yg mubah, memvonis buruk pelakunya, dan menyerang Kaum Muslimin dg lisan dan badannya… Kemudian hal itu menggiring mereka kepada tindakan memvonis orang lain menjadi ahli bid’ah, fasik, dan kafir, dg dalih wala’ wal baro’… dan mungkin saja hal itu akan menggiring mereka, kepada tindakan penghancuran dan pemboman dg dalih wala’ wal baro’…
Sebagian lagi, ada yg menjadikan wala’ wal baro’ ini sebagai tunggangan hawa nafsunya, jika ia cocok dg hawa nafsunya, maka ia berlebihan dalam menerapkannya… tp jika ia menyelisihi hawa nafsunya, maka ia sepelekan dan ia buang sejauh-jauhnya.
Kalian juga bisa melihat, bagaimana sebagian Kaum Muslimin yg lain menyepelekan masalah wala’ wal baro’ ini, hingga mereka membencinya dan membenci pembicaraan tentangnya… bahkan mereka memeranginya dan memerangi penyerunya, meski org yg menyerukannya bercahayakan Alqur’an dan sunnah…
Kalian akan melihat dari sebagian Kaum Muslimin, tiada lagi perbedaan antara hubungan mereka dg sesama muslim dan hubungan mereka dg non muslim, bahkan kadang hubungan mereka dg non muslim lebih baik dan lebih sempurna, daripada hubungan mereka dg sesama muslim… Kalian juga akan melihat dari sebagian kaum muslimin, tiada lagi perbedaan antara hubungan mereka dg muslim yg taat dan hubungan mereka dg muslim yg ahli maksiat, bahkan kadang hubungan mereka dg muslim yg ahli maksiat lebih baik dan lebih sempurna, daripada hubungan mereka dg muslim yg taat.
Para pembaca yg kami hormati…
Oleh karena itu, menjadi sebuah keniscayaan bagi Kaum Muslimin untuk memahami dasar agama yg agung ini… dan menjadi kewajiban bagi para “penuntut ilmu” untuk menjelaskan dasar agama ini, dg berlandaskan Alqur’an dan Sunnah sesuai Pemahaman Para Salaful Ummah… Para Salaful Ummah-lah yg telah memahami dasar agama ini dg benar dan merekalah yg telah berjalan dg lurus di atasnya… Sehingga jadilah mereka generasi yg paling menyayangi makhluk-Nya, bahkan merekalah generasi yg paling menyayangi non muslim, hingga para kafir dzimmi dulu lebih senang menetap di bawah kekuasaan kaum muslimin, daripada menetap di bawah kekuasaan golongan dan pengikut agama mereka sendiri.
Para pembaca yg kami hormati…
Dalam tulisan ini, kita akan mengemukakan kajian ilmiah tentang poin-poin inti mengenai dasar agama yg agung ini, kita akan membahas tentang:
Apa hakekat wala’ wal baro’?
Berapakah golongan manusia dari sudut pandang ini?
Dan apa saja kaidah dalam interaksi antara muslim dg non muslim?
Para pembaca yg kami hormati…
Kata Wala’, secara bahasa menunjukkan arti: kedekatan terhadap sesuatu, pertolongan, kecintaan dan pengikutan.
Sedangkan secara istilah, kata wala’ berarti: Mencintai Alloh dan Rosul-Nya, serta mencintai Agama Islam dan para pemeluknya.
Kata Wal, adalah kata penghubung yg berarti: dan
Adapun kata Baro’, secara bahasa ia menunjukkan arti: jauh, permusuhan, dan penghindaran dari sesuatu yg dibenci.
Sedangkan secara istilah, Baro’ berarti: membenci dan memusuhi apapun yg disembah selain Alloh, membenci dan memusuhi setiap bentuk kekufuran dan para pengikutnya, serta membenci dan memusuhi para ahli maksiat sesuai dg kadar kemaksiatannya.
Untuk lebih mudahnya, kami terjemahkan istilah wala’ wal baro’ ini dg redaksi: “sikap loyal dan sikap berlepas diri”, yakni sikap loyal kepada Islam beserta pemeluknya, dan sikap berlepas diri dari kekafiran beserta pengikutnya.
Para pembaca yg kami hormati…
Dari sini muncul pembahasan penting, yg bisa menjelaskan inti masalah wala’ wal baro’; Adakah hubungan antara rasa cinta dan rasa benci dg masalah wala’ wal baro’?
Tidak ada keraguan lagi, bahwa rasa cinta dan rasa benci, adalah inti dari sikap muwalah (wala’) dan mu’adah (baro’). Ibnu Taimiyah –rohimahulloh– mengatakan:
“Inti dari sikap muwalah adalah rasa cinta, sebagaimana inti dari sikap mu’adah adalah rasa benci… Karena rasa saling mencintai akan menimbulkan kedekatan dan persamaan, sedang rasa saling membenci akan menimbulkan kejauhan dan perbedaan”
Dari sinilah, muncul pertanyaan besar… Apakah setiap kecintaan pada orang kafir, merupakan sikap wala’ yg dapat merusak keislaman seseorang?! Seperti diterapkan oleh sebagian Kaum Muslimin, jika melihat seseorang menyatakan atau menampakkan kecintaan pada orang kafir, maka mereka langsung mengatakan: “ia telah berwala’ padanya dan menjadi kafir, karena telah menghancurkan keislamannya dan meruntuhkan pilar-pilar agamanya”.
Para pembaca yg kami hormati…
Jawaban yg benar dari pertanyaan di atas adalah: Tidak setiap kecintaan kepada orang kafir menyebabkan seorang muslim menjadi kafir, tapi harus ada pemilahan yg jelas sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil syar’i dan telah diterapkan oleh para Ulama Islam… Karena kecintaan hati kepada non muslim tidaklah satu, akan tetapi:
(1) Ada kalanya kecintaan itu menafikan sikap baro’, sehingga menjadikan kafir pelakunya.
(2) Ada kalanya kecintaan itu hanya mengurangi kualitas sikap baro’, dan tidak menjadikan kafir pelakunya… Ia termasuk maksiat yg dapat mengurangi keimanan, tapi tidak menafikannya.
(3) Dan ada kalanya kecintaan itu tidak mengurangi kesempurnaan iman dan sikap baro’ sama sekali, karena seorang hamba tidak dicela karenanya.
Adapun kecintaan kepada kafir yg dapat menafikan sikap baro’ dan menjadikan kafir pelakunya adalah: kecintaan pada orang kafir karena kekufurannya, karena hal itu jelas menafikan keimanan seseorang… Alloh ta’ala berfirman:
لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Engkau (Muhammad) tidak akan mendapati suatu kaum yg beriman kepada Alloh dan hari akhir, saling berkasih sayang dg orang-orang yg menentang Alloh dan Rosul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapaknya, anaknya, saudaranya, atau keluarga… Mereka itulah orang-orang yg telah Alloh tanamkan dalam hati mereka keimanan, dan menguatkan mereka dg pertolongan yg datang dari-Nya. Lalu Dia memasukkan mereka ke dalam surga yg mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan mereka kekal di dalamnya. Alloh meridloi mereka, dan mereka pun ridlo terhadap-Nya… Merekalah golongan Alloh, dan ingatlah, sesungguhnya golongan Alloh itulah yg beruntung”.
Adapun kecintaan kepada kafir yg hanya mengurangi kualitas sikap baro’, dan tidak sampai menafikan keimanan adalah: kecintaan muslim kepada orang lain karena kefasikannya, atau karena maksiat yg dilakukannya… seperti: mencintai orang kafir karena ia seorang penyanyi, atau semisalnya… Maka tidak diragukan, ini merupakan dosa, tapi tidak sampai pada derajat kekufuran, karena ia tidak menafikan inti iman, karena sejak dahulu ada saja sebagian Kaum Muslimin yg mencintai maksiat dan pelakunya, tp tidak seorangpun dari Ahlussunnah mengafirkan mereka…
Termasuk jenis ini, adalah apa yg banyak terjadi sekarang ini; mencintai orang kafir karena maslahat dan urusan duniawi… seperti: mencintai orang kafir karena ia menjadi partner kerjanya, atau karena ia pandai main sepakbola, atau semisalnya, meski ia membenci agamanya… ini adalah bentuk kemaksiatan yg tidak sampai pada derajat kekufuran…
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rohimahulloh– mengatakan: “Dan kadangkala, ada rasa cinta (kepada kafir) yg timbul karena ikatan kerabat atau kepentingan. Ini merupakan dosa yg dapat mengurangi keimanannya, tp tidak menjadikannya kafir, sebagaimana hal ini terjadi pada seorang sahabat yg bernama Hatib bin Abi Balta’ah, ketika ia membeberkan kepada Kaum Musyrikin sebagian rahasia Nabi -shollallohu alaihi wasallam-, hingga Alloh menurunkan ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ، تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ
“Wahai orang-orang yg beriman, janganlah kalian menjadikan musuh-Ku dan musuh kalian sebagai teman-teman setia, hingga kalian sampaikan kepada mereka (rahasia-rahasia Muhammad) karena dorongan kasih sayang”…
Sebagaimana pula terjadi pada seorang sahabat yg bernama Sa’d bin Ubadah ketika membela Ibnu Ubay dalam kasus “Tuduhan zina terhadap Aisyah (Istri Nabi -shollallohu alaihi wasallam-)”, ia mengatakan kepada Sa’d bin Mu’adz: “Sungguh -demi Alloh- kamu salah, jangan bunuh dia, kamu takkan mampu membunuhnya”. Aisyah mengatakan: “Sa’d bin Ubadah adalah seorang yg sholih, tp saat itu ada kepentingan yg mendesaknya (melakukan hal itu)”…
Karena syubhat inilah, Sahabat Umar bin Khottob menyebut Sahabat Hatib sebagai munafik dan mengatakan: “Ya Rosululloh, biarkan aku tebas leher si munafik ini”, lalu beliau –shollallohu alaihi wasallam– menjawabnya: “(Jangan), karena dia telah ikut dalam Perang Badar”…
Sahabat Umar menamainya munafik, karena adanya syubhat dalam tindakannya, dan hal itu tidak disetujui oleh Nabi –shollallohu alaihi wasallam-… Hal yg sama juga dikatakan Sahabat Usaid bin Khudloir terhadap Sahabat Sa’d bin Ubadah: “Kamulah yg salah. Demi Alloh, aku benar-benar akan membunuhnya, kamu hanyalah seorang munafik yg membela-bela Kaum Munafikin”.
Adapun kecintaan yg seseorang tidak dicela sama sekali, dan bukan termasuk maksiat, adalah: kecintaan manusiawi yg telah ada sejak awal penciptaan manusia… Kecintaan yg ada dalam hati manusia, karena keberadaannya sebagai manusia dan ia takkan dapat menghilangkannya dg kehendaknya, tentunya harus tetap ada kebencian terhadap kekufuran dalam hatinya… Maka, seorang hamba tidaklah dicela dg kecintaan yg seperti ini, karena ia merupakan kecintaan yg manusiawi, sedang yg dilarang adalah kecintaan yg berhubungan dg agama…
Contoh kecintaan ini adalah: Cinta seorang ayah terhadap anaknya yg kafir, sebagaimana dikisahkan dalam Aqur’an:
وَنَادَى نُوحٌ رَبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ
“(Nabi) Nuh memohon kepada Tuhannya, sambil berkata: Ya Tuhanku, (selamatkanlah anakku), sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, sedang janjimu (untuk menyelamatkan aku dan keluargaku) itu pasti benar, dan Engkaulah hakim yg paling adil”
Contohnya lagi adalah: kecintaan anak terhadap kedua orang tuanya yg kafir, seperti kecintaan Nabi Ibrohim –alaihissalam– kepada ayahnya, dan kecintaan Nabi kita –shollallohu alaihi wasallam– kepada ibunya.
Alloh ta’ala berfirman:
يَا أَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِنَ الرَّحْمَنِ فَتَكُونَ لِلشَّيْطَانِ وَلِيًّا… قَالَ أَرَاغِبٌ أَنْتَ عَنْ آلِهَتِي يَا إِبْرَاهِيمُ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهِ لَأَرْجُمَنَّكَ وَاهْجُرْنِي مَلِيًّا… قَالَ سَلَامٌ عَلَيْكَ سَأَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّي إِنَّهُ كَانَ بِي حَفِيًّا
“Ibrohim berkata: ‘Wahai ayahku, sungguh aku khawatir engkau akan ditimpa adzab dari Tuhanku Yang Maha Pengasih, sehingga engkau menjadi temannya setan’… ayahnya menjawab: ‘Ya ibrohim, bencikah kau pada tuhan-tuhanku?! Jika tidak berhenti (dari tindakanmu itu, sungguh) aku akan merajammu. Maka tinggalkanlah aku untuk waktu yg lama’… Ibrohim pun menjawab: ‘Semoga keselamatan dilimpahkan padamu (ayah), aku akan memohonkan ampunan bagimu kepada Tuhanku, karena sesungguhnya Dia sangat baik terhadapku'”
Dalam hadits yg diriwayatkan oleh Abu Huroiroh, Nabi –shollallohu alaihi wasallam– bersabda:
“(Suatu hari) Rosululloh –shollallohu alaihi wasallam– mendatangi makam ibunya, lalu beliau menangis, dan membuat orang disekitarnya ikut menangis… Rosululloh –shollallohu alaihi wasallam– lalu berkata: ‘Aku telah minta izin kepada Tuhanku untuk memintakan ampun ibuku, tapi Dia tidak mengizinkanku, maka aku pun minta izin untuk menziarahi makamnya, dan Dia mengizinkanku”.
Contohnya lagi adalah: kecintaan suami pada istrinya yg kafir ahli kitab, atau kecintaan seseorang pada orang lain yg berbuat baik dan membantu urusannya… Kecintaan seperti ini tidaklah dicela, selama tidak mempengaruhi kebenciannya terhadap kekafirannya. Adapun jika kecintaan itu mempengaruhi kebenciannya terhadap kekafirannya, maka hukum kecintaan ini, kembali pada kecintaan jenis pertama dan kedua dg semua perinciannya.
Saudaraku seiman, para pembaca yg kami hormati…
Dalil bahwa kecintaan manusiawi kepada kafir tidak mempengaruhi kesempurnaan iman dan sama sekali tidak dicela adalah, firman Alloh ta’ala ketika mengisahkan sikap Nabi-Nya terhadap pamanya yg mati dalam keadaan kafir:
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Sungguh, engkau (Muhammad) takkan mampu memberi petunjuk kepada orang yg engkau cintai, tetapi Alloh-lah yg mampu memberi petunjuk kepada siapapun yg dikehendaki”
Imamnya para pakar tafsir, Ibnu Jarir ath-Thobari –rohimahulloh– mengatakan: “Seandainya ada yg mengatakan makna ayat ini: ‘Sungguh engkau (Muhammad) tidak akan mampu memberi petunjuk kepada orang yg engkau cintai dari kerabatmu, tetapi Alloh-lah yg mampu memberi petunjuk kepada siapapun yg dikehendaki’, maka sungguh itu suatu madzhab (penafsiran yg tepat)”.
Adapun Ibnu Katsir, beliau mengatakan: “Telah valid dalam Kitab Shohih Bukhori dan Shohih Muslim, bahwa ayat ini diturunkan untuk paman Nabi -shollallohu alaihi wasallam- Abu Tholib, yg dulunya melindungi, menolong, dan berdiri di barisan beliau, yg beliau sangat mencintainya dg kecintaan manusiawi, bukan dg kecintaan yg berhubungan dg agama”…
Di ayat ini Alloh menetapkan kecintaan Nabi-Nya terhadap pamanya yg kafir, dan Dia tidak mencelanya… Ini menunjukkan bahwa kecintaan ini tidaklah merusak kesempurnaan iman… Bagaimana mungkin hal itu merusak kesempurnaan iman, sedang ia telah terjadi pada diri Muhammad –shollallohu alaihi wasallam-, Sang Tauladan yg paling sempurna imannya?!”…
Diantara dalilnya lagi adalah: bolehnya muslim menikahi wanita kafir dari ahli kitab, padahal sudah jelas akan timbul kecintaan manusiawi antara keduanya, sebagaimana firman-Nya:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan diantara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah, Ia menciptakan pasangan-pasangan untuk kalian dari jenis kalian sendiri, agar kalian merasa tentram kepadanya. Lalu Ia menjadikan diantara kalian rasa cinta dan kasih. Sungguh, pada yg demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Alloh bagi kaum yg berpikir” (Azzumar: 21)
Diantara dalilnya lagi adalah: karena kecintaan yg bersifat manusiawi tidak akan bisa ditolak oleh manusia, padahal Alloh azza wajall telah berfirman:
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ
“Alloh tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dg kemampuannya… dia pasti akan mendapatkan pahala dari kebajikan yg dikerjakannya, dan dia pasti akan menuai siksa dari keburukan yg diperbuatnya”. (Albaqoroh: 286)
Saudaraku, yg kami hormati…
Di sini, Ada poin yg sangat penting untuk diketahui, yaitu bahwa patokan hukum dalam masalah wala’ wal baro’ dan amalan yg berhubungan dengannya adalah hati, dan kecintaan hati itu ada banyak macamnya sebagaimana telah lalu.
Membantu orang kafir untuk melawan muslim misalnya, ada banyak jenisnya:
– Jika membantu kafir untuk melawan muslim karena tujuan menghindari ancaman besar dari si kafir, dan membantu si kafir saat itu menjadi satu-satunya jalan untuk menghindari ancaman tersebut, maka membantunya dalam hal ini diperintah oleh syariat dan tidak dilarang.
– Jika membantu kafir untuk melawan muslim, karena kepentingan duniawi, maka ini termasuk maksiat sebagaimana perbuatan maksiat lainnya.
– Dan jika membantu kafir untuk melawan muslim, karena mencintai agama si kafir, atau membenci agama seorang muslim, maka ini termasuk amalan kufur… -kita berlindung kepada Alloh dari terjerumus dalam hal ini-.
Adapun meminta bantuan kepada orang kafir, untuk memerangi muslim atau non muslim, maka para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini… Tetapi pendapat yg benar adalah, dikembalikannya masalah ini kepada kebijakan penguasa, jika ia melihat ada maslahatnya, maka ia boleh melakukannya, tapi jika tidak, maka ia harus meninggalkannya.
Diantara dalil yg paling jelas dalam masalah yg agung ini adalah: Kisah Hatib bin Abi Balta’ah –rodliallohu anhu– ketika ia secara diam-diam menulis surat kepada Kaum Kuffar Makkah, memberitahu mereka kabar rahasia tentang keinginan Rosululloh –shollallohu alaihi wasallam– untuk memerangi mereka… Lihatlah kasus besar yg terjadi pada Hatib bin Abi Balta’ah ini, yg di dalamnya ada tindakan membantu Kaum Kuffar…
Hatib ketika itu menulis surat kepada Kaum Kuffar, untuk memberitahu mereka tentang rencana Nabi -shollallohu alaihi wasallam– menyerang mereka. Lalu Nabi –shollallohu alaihi wasallam– mendapat wahyu tentang pengiriman suratnya… setelah beliau mengetahuinya, beliau mengirimkan sahabatnya untuk mengambil surat itu, dari orang suruhan Hatib yg keluar menuju Kaum Kuffar Mekkah… Setelah itu, Beliau memanggil Hatib dan mengatakan padanya: “Wahai hatib, apa (yg kau lakukan) ini?!”
Renungkanlah wahai saudaraku… tindakannya telah terbukti di depan Rosululloh –shollallohu alaihi wasallam– melalui wahyu dan fakta… Meski demikian, Nabi -shollallohu alaihi wasallam- tidak langsung mengafirkannya… Andai saja tindakan itu otomatis menjadikannya kafir, maka harusnya Nabi -shollallohu alaihi wasallam- tidak menanyakan perincian maksud tindakannya… Tapi Nabi Pembawa Rahmat, Nabi Pembawa Kebenaran, dan Nabi Pembawa Petunjuk meminta perincian dari Hatib, Beliau menanyakan: “Apa (yg kau lakukan) ini?!”.
Maka Hatib menjawab: “Jangan tergesa-gesa padaku ya Rosululloh, sesungguhnya aku adalah seorang pendatang di Kabilah Quroisy, sedang Kaum Muhajirin yg bersamamu sekarang ini, mereka mempunyai kerabat yg mampu melindungi keluarga mereka di Makkah. Oleh karena aku tidak memiliki nasab sebagaimana mereka, maka aku ingin mengambil simpati mereka untuk melindungi kerabatku di sana, aku tidak melakukan ini karena kekufuran, bukan pula karena murtad dari agamaku, dan bukan pula karena rela dg kekufuran setelah aku masuk islam.
Wahai saudaraku yg kami cintai… Renungkanlah ucapan sahabat yg mulia ini, orang yg mengetahui kebenaran dari Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-, apa yg dia katakana?! Ia mengatakan: “aku tidak melakukan hal ini karena kekufuran”, ini menunjukkan bahwa para sahabat –rodliallohu anhum– benar-benar tahu, bahwa tindakan itu sendiri bukanlah penyebab kekufuran…
Ia mengatakan lagi “bukan pula karena murtad dari agamaku, dan bukan pula karena rela dg kekufuran setelah aku masuk islam”… Dia di sini menjelaskan patokan kufur dalam tindakan membantu kaum kuffar, yaitu rela dg kekufuran setelah memeluk islam.
Lalu bagaimana Nabi –shollallohu alaihi wasallam– menyikapinya?! Beliau mengatakan: “dia benar”.
Kemudian Umar berkata: “Ya Rosululloh, biarkan aku tebas leher si munafik ini!”.
Maka Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- menjawab: “Jangan, karena ia telah ikut dalam perang badar, dari mana kamu tahu (hal itu), mungkin saja Alloh telah melihat mereka yg ikut Perang Badar, hingga Dia mengatakan: ‘kerjakanlah apa yg kalian kehendaki, karena aku telah mengampuni kalian'”.
Para ulama’ telah menjelaskan bahwa apa yg terjadi pada Hatib –rodliallohu Anhu– adalah tindakan maksiat, bukan kekufuran, karena Nabi –shollallohu alaihi wasallam– mengatakan pada Umar: “dari mana kamu tahu (hal itu), mungkin saja Alloh telah melihat mereka yg ikut perang badar, hingga mengatakan: ‘kerjakanlah apa yg kalian kehendaki, karena aku telah mengampuni kalian'”, dan ampunan tidak ada kecuali dari dosa, maka itu menunjukkan bahwa apa yg dilakukannya adalah tindakan maksiat… Seandainya itu kufur, tentunya tidak akan diampuni hanya karena ada keutamaan dari pelakunya, karena kekufuran tidak bisa terampuni kecuali dg meninggalkannya dan taubat darinya.
Jika ada yg mengatakan: “Hukum ini hanya cocok untuk Hatib -rodliallohu anhu- karena ia termasuk orang yg ikut dalam perang badar”, maka kita katakan: “Seandainya itu kekufuran, tentunya tidak ada seorang pun yg dikecualikan, karena kekufuran tidak akan diampuni dg amalan ikut-serta di perang badar atau dg amalan lainnya”… Dengan demikian, tetaplah bahwa hadits ini, menunjukkan kaidah dasar yg telah ditetapkan oleh para Ulama’ Islam.
Diantara dalilnya lagi adalah: Kisah Sahal bin Baidlo’… Dia dulunya adalah seorang muslim yg berada di Makkah, tp ketika itu ia menyembunyikan keislamannya… Kemudian ia keluar bersama Kaum Musyrikin di Perang Badar… Tentunya dalam tindakannya ini, ia membantu Kaum Kuffar menyerang Kaum Muslimin… Lalu jatuhlah dia di tangan Kaum Muslimin sebagai tawanan, padahal Nabi -shollallohu alaihi wasallam– ketika itu telah menyabdakan: “Jangan sampai ada tawanan yg lepas, kecuali dg tebusan atau dibunuh”… Maka Ibnu Mas’ud –rodliallohu anhu– mengatakan: “Ya Rosululloh, kecualikanlah Sahl Bin Baidlo’, karena aku telah mendengarnya masuk Islam!”…
Apa jawaban Nabi –shollallohu alaihi wasallam-?! Apa beliau menjawab: “Tidak, karena ia telah keluar bersama Kaum Kuffar menyerang kita dan membantu mereka menyerbu kita, maka ia kafir karenanya?!… Tidak, Beliau tidak mengatakan itu… tp Beliau diam sejenak, lalu mengatakan: “Kecuali Sahl bin Baidlo’, kecuali Sahl bin Baidlo'”
(bersambung…)
assalamu’alaikum
subhanalloh… risalah yang bermanfaat… ana tunggu kelanjutannya
assalamu’alaikum
artikel yang bermanfaat…. barakallohufiik
allohu akbar…..
ya alloh berilah hidayah kepada kami, dan kepada yang penulis artikel ini, dan kepada seluruh kaum muslimin, dan terutama kepada yang berjuang di jalan Mu. Mungkin mereka belum tahu, sedangkan Engkau Maha Mengetahui maka berilah hidayah kepada mereka. Engkau tahu apa yang dihadapan kami, di belakang kami, di atas dan bawah kami. dan Engkau mengetahui isi hati kami.
Kepada siapa sesungguhnya kami ber wala’ apakah kepada orang kafir dan pembantu-pembantunya. ataukah kami ber wala’ kepada kaum muslimin. Engkau mengetahui semuanya, tiada yang tersembunyi dari ilmu_Mu.
assalammu’alikum wr.wb
lihatlah apa yang dibicarakan, jangan melihat siapa yang berbicara.
ana ada beberapa pertanyaan. mohon dibantu jawabannya. sering saya mendengar bahwa lawan syubhat dengan dalil.
maka saya bertanya tentang syubhat ini.
bukankah dari seluruh manusia yang paling mengerti islam adalah para sahabat r.hm. dan diantara mereka ada yang lebih ‘alim antara satu dengan yang lain. dan keutamaan 4 sahabat besar juga telah di akui oleh para sahabat r.hm kala itu.
sahabat abu bakr ash-shidiq adalah sahabat yang utama setelah rosululloh saw. lebih alim dalam islam, dan lebih banyak berkorban harta maupun jiwa.
pertanyaan saya adalah, ketika dahulu sahabat abu bakr r.a dipilih menjadi khalifah. tugas pertama yang beliau lakukan adalah memerangi mereka yang tidak membayar zakat. ketika itu umar r.a mengatakan bahwa mengapa engkau memerangi mereka padahal mengerjakan sholat. ketika itu sahabat abu bakr menjawab, ‘tidak demi alloh, aku tetap akan memerangi mereka sampai mereka membayar zakat sebagaimana ketika rosululloh saw masih hidup.
itulah pemahaman beliau r.a tentang ayat ” dirikanlah sholat dan tunaikan zakat” bahwa kedua kewajiban tersebut tidak boleh dipisah satu sama lain. meski mereka tidak secara jahr mengatakan bahwa mereka menolak kewajiban zakat. tapi toh abu bakr r.a masih tetap memerangi mereka. karena iman adalah, yakin, ucapan, dan amal (membayar zakat)
mungkin ustad akan menyebut saya sebagai ‘khawarij’, tapi sebenarnya saya membutuhkan jawaban yang bisa menghilangkan keraguan saya.
jika demikian, maka bagimanakah status penguasa muslim seperti di negeri ini yang menghapus zakat dan menggantinya dengan pajak. bagaiamana sikap salaf terdahulu seperti sahabat r.hm, lebih khusus sahabat abu bakr.ra ?
apakah masih berlaku, hadits yang menyatakan jangan memerangi penguasa muslim selama ia masih MENDIRIKAN sholat ? sementara ia MENIADAKAN zakat.
mohon di jawab dengan jujur… dengan dalil dan hujah yang nyata. semoga hal ini bermanfaaat bagi saya dan terlebih bagi kaum muslimin. saya siap dengan jawaban lewat e_mail,.
jazakumulloh khoiron.
wassalammu’alaikum wr.wb
Waalaikum salam warohmatulloh…
Afwan hanya bisa jawab, semoga mengena… ni poin2 jawaban untuk pertanyaan antum…
1. Tidak semua amalan yg menjadikan suatu kelompok dari kaum muslimin berhak diperangi, menjadikan kaum itu kafir… seperti misalnya bila ada kaum muslimin yg meninggalkan syiar adzan, mereka wajib diperangi, tp bukan berarti mereka kafir…
2. Memang IMAN mencakup AMALAN, tapi bukan berarti: “Setiap meninggalkan amalan -yg merupakan bagian dari iman-, berarti meninggalkan iman secara total dan menjadikannya kafir”…
Tentunya kita ingat sabda Nabi -shollallohu alaihi wasallam-: “Imam itu mempunyai 70 lebih cabang, cabang yg paling tinggi adalah ucapan laa ilaaha illallooh, sedang cabang yg paling rendah adalah amalan menyingkirkan sesuatu yg mengganggu dari jalan, dan rasa malu adalah salah satu dari cabang iman”… Apakah ketika seseorang tidak memiliki rasa malu atau tidak menyingkirkan duri di jalan -yg keduanya termasuk iman- berarti org itu menjadi kafir?! tentunya tidak.
3. Saya tidak setuju bila dikatakan “Pemerintah kita menghapuskan zakat, dan menggantinya dg pajak”… Jika ucapan itu benar, berarti kita juga bisa mengatakan bahwa pemerintah kita menghapuskan shalat, dan menggantinya dg seremoni upacara -misalnya-“… tentunya hal ini tidaklah benar…
Mungkin lebih tepatnya, kita katakan mereka mewajibkan sesuatu yg tidak diwajibkan oleh Syariat Islam, wallohu a’lam…
Dan para ulama’ telah membahas masalah pajak ini, mereka mengatakan: Jika Negara telah berusaha mencari dana dg jalan yg syar’i, tp tidak mencukupi kebutuhan negara, maka boleh bagi mereka mengambil dana dari rakyatnya untuk waktu tertentu, baik karena keadaan yg darurat atau karena adanya kebutuhan yg mendesak utk melakukan itu, wallohu a’lam… (utk lebih luasnya, silahkan buka link ini: http://www.sahab.net/forums/showthread.php?t=374446 )
Atau, anggap saja pemerintah kita salah dalam menerapkan pajak ini, tapi bukan berarti itu menjadikan mereka kafir, karena itu adalah maksiat yg tidak mengeluarkan seseorang dari keimanan…
Atau, anggap saja itu termasuk tindakan yg menjadikan seseorang kafir, tp tidak otomatis hal itu menjadikan si pelakunya kafir… Karena harus dibedakan antara vonis kafir thd suatu amalan, dg vonis kafir thd pelaku amalan tersebut… harus dibedakan antara vonis kafir secara umum (takfir am), dg vonis kafir secara perindividu (takfir mu’ayyan)…
Dalam vonis kafir thd suatu amalan, kita harus meruju’ kepada nash, dan tidak perlu melihat keadaan personnya… Adapun vonis kafir thd pelaku amalan itu, kita harus melihat keadaan person tersebut, harus terpenuhi syarat2 vonis kafir dan tidak ada penghalangnya… wallohu a’lam…
Apapun keadaannya, apakah pajak yg ada sekarang sesuai dg syari’at atau tidak, kita tetap wajib mena’ati penguasa kita, selama bukan merupakan maksiat kepada Alloh… Ingatlah sabda Rosululloh –shollallohu alaihi wasallam-: “Dengarkan dan ta’atilah mereka, meski punggungmu dipukul, dan hartamu diambil (secara zholim)”… Jika pajak itu sesuai dg Syari’at, maka kita telah bebas dari kewajiban itu, dan jika pajak tidak sesuai dg Syari’at, maka merekalah yg akan menanggung akibatnya, dan kita tetap akan menemukan hak kita di akhirat kelak tanpa kurang satupun… wallohu a’lam.
Mohon ma’af jika jawaban terlalu singkat dan kurang berkenan… Semoga Alloh selalu memberikan taufiq-Nya padan kita dan menuntun kita selalu di jalan kebenaran hingga ajal menjemput kita… Innahu waliyyu dzalik wal qoodiru alaih… amin… wassalamualaikum warohmatulloh…
Afwan ustad sedikit bertanya dan menanggapi.
1. Apa benar ucapan “lihatlah apa yang dibicarakan, jangan melihat siapa yang berbicara”. Karena setahu ana sanad termasuk dien, jadi harus dilihat siapa yang ngomong. Masak soal agama kita ambil dari omongannya penyanyi???
Mungkin bisa dijelaskan lebih lanjut ustad.
2. Dari permasalahan yang disampaikan saudara algren, itu kan pemimpin kaum muslimin terhadap rakyatnya yang membangkang. Jadi bila ada rakyat Indonesia yang melakukan kemaksiatan terang-terang, maka pemerintah boleh melakukan seperti apa yang dilakukan sabahat yang mulia Abu bakar rodhiyalloohu ‘anhu. Tapi saudara algren memahami dibalik. “bila pemimpin bermaksiat, maka rakyat boleh memeranginya. Maka menurut ana ini penerapan atsar yang keliru.
Sebagai contoh “Bila seorang anak melakukan kesalahan fatal, maka bapak boleh saja menghukumnya dengan mengusir anak dari rumah.”
Apakah dibenarkan bila difahami sebaliknya? “Jika bapak melakukan kesalahan fatal, maka anak berhak mengusir bapaknya dari rumah”
Walloohu’alam
mohon koreksinya bila salah
“Lihatlah apa yg dibicarakan, jangan lihat siapa yg bicara”… Jika ini diartikan sebagaimana pepatah arab: “Alhaq shoidul mu’min” (Kebenaran itu buruan seorang mukmin), maka tidak ada masalah dg ungkapan itu… tp bukan berarti kita boleh menjadikan sembarang orang untuk menuntut ilmu…
Dalam menuntut ilmu, pilihlah orang yg tepercaya ilmunya… tp bukan berarti anda tidak menerima kebenaran jika datang dari orang lain…
intinya, jika dua ungkapan itu ditempatkan pada tempatnya, insyaAlloh tidak menjadi masalah, wallohu a’lam…