Mengkritisi.. DZIKIR JAMA’I.. (2, utk dewasa)

Posted: 8 Desember 2009 in Doa+Dzikir
Tag:, , , , , , , ,

Bismillah… alhamdulillah… was-sholatu wassalamu ala sayyidina, wa maulana, wa qurrotu a’yunina Muhammadibni abdillah… wa ala alihi wa shohbihi wa man tabi’ahum bi ihsan ila yaumil qiyamah…

Para pembaca yang budiman… semoga Alloh mencurahkan rahmat dan taufiq-Nya kepada kita semua… Bukankah kita semua mencintai Alloh, Tuhan dan Sesembahan kita?! Jika benar kita mencintai-Nya, maka sudahkah kita buktikan kecintaan itu dalam kehidupan nyata?! Lalu apa yang bisa menjadi bukti cinta kita kepada-Nya?! Simaklah firman Alloh berikut ini:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Katakanlah (wahai Muhammad, kepada para hambaku)!: “Jika kalian benar-benar mencintai Alloh, maka ikutilah aku (yakni Nabi Muhammad)! Niscaya Alloh akan mencintai kalian, dan mengampuni dosa kalian. (Sungguh) Dia maha pengampun lagi maha penyayang.” (Alu Imron:31)…

Ayat ini dengan jelas memberikan kita pelajaran berharga, barangsiapa mengaku cinta Alloh, maka hendaklah ia mengikuti sunnah Rosul -shollallohu alaihi wasallam-… Dan dalam rangka mewujudkan cinta Alloh dan Rosul-Nya ini, marilah kita teliti gerak gerik kita dalam hidup ini, sudahkah sesuai tuntunan beliau?! Jika sudah sesuai, maka marilah istiqomah dan giat dalam menjalankannya! Sebaliknya jika kurang sesuai, marilah kita berlapang dada untuk membenahi dan mengoreksinya!… Semoga kita ditunjuki jalan yang lurus oleh-Nya… amin.

Artikel ini adalah lanjutan artikel sebelumnya, semoga bermanfaat bagi kaum muslimin semuanya, utamanya bagi mereka yang semangat untuk kembali meneladani Sang Pembawa Risalah ini, para sahabatnya, para tabi’in, dan para tabiut tabiin… amin.

Dalil keempat:

Banyak maslahat dari dzikir jama’i, diantaranya:

1. Dzikir jamai merupakan sarana untuk saling membantu dalam kebaikan.

Jawaban:

a. Sebenarnya ta’awun dalam dzikir jama’i ini bukanlah ta’awun dalam kebaikan, sebaliknya ia merupakan ta’awun dalam dosa dan kemaksiatan. Mengapa?! Karena itu adalah ta’awun dalam menghidupkan bid’ah yang tidak dituntunkan oleh Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-.

b. Jika dalam dzikir jamai itu ada nilai “ta’awun alal birri wat taqwa” (saling membantu dalam kebaikan dan ketakwaan) tentunya Rosul-lah orang yang pertama menerapkannya, disusul para sahabat yang sangat semangat dalam menauladani beliau. Tapi faktanya beliau dan para sahabatnya tidak pernah melakukan hal itu, dan sungguh telah berdusta setiap orang yang mengabarkan bahwa mereka pernah melakukannya.

c. Dalil ta’awun ini terlalu umum, dan bisa juga dipakai untuk membolehkan amalan yang lainnya, seperti: Siwakan bersama, sholat sunat qobliah dan ba’diyah bersama, menulis wasiat bersama… dan sederet ibadah yang mungkin dilakukan bersama, tapi pelaksanaannya yang secara bersama tidak pernah dicontohkan oleh Teladan kita, Nabi Muhammad -shollallohu alaihi wasallam-. Lalu apakah mereka juga akan menyetujui bolehnya amalan-amalan di atas?! Jika jawabannya “Ya”, maka sungguh mereka jauh dari tuntunan Beliau.  Sebaliknya bila jawabannya “Tidak”, maka gugurlah dalil mereka dalam masalah ini.

2. Doa secara jamai lebih mustajab.

Jawaban:

a. Alasan ini juga ada ketika zaman Nabi -shollallohu alaihi wasallam-, meski begitu beliau tidak melakukannya. Jika hal itu memang boleh dilakukan, tentunya beliau akan lakukan doa bersama, minimal 5 kali sehari, setiap selesai sholat. Tapi mengapa hal tidak beliau lakukan?! Jawabannya adalah: Karena hal itu memang tidak disyariatkan oleh Islam. Ibnu Taimiyah, seorang ulama besar dari Madzhab Hambali mengatakan: “Tidak ada seorang pun yang meriwayatkan, bahwa Nabi -shollallohu alaihi wasallam- setelah sholat jamaah, melakukan doa bersama dengan para ma’mumnya, baik ketika sholat shubuh, sholat ashar, maupun sholat-sholat yang lainnya. Akan tetapi yang ada nukilannya adalah ketika usai mengimami sholat, beliau menghadap kepada para sahabatnya, lalu berdzikir, dan mengajarkan dzikir kepada mereka”. (Al-Fatawa Al-Kubro 2/205)

b. Doa secara jama’i, jika dilakukan sesekali dan tidak dijadikan kebiasaan, maka hal itu dibolehkan… Berbeda halnya jika dilakukan secara terus menerus, misalnya: Setiap selesai sholat fardhu ada doa jama’inya, setiap selesai kajian ada doa jama’inya, setiap selesai kumpul bersama ada doa jama’inya… Jika prakteknya seperti ini, maka hal ini menjadi bid’ah, karena termasuk ibadah yang tidak ada tuntunannya dari Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-… Asy-Syathibi, seorang ulama besar dari Madzhab Maliki mengatakan: “Doa bersama yang dilakukan secara rutin, tidaklah termasuk perbuatan yang dicontohkan Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-, tidak ada pula ucapan, maupun persetujuan dari beliau tentang itu”. (Ali’tishom: 1/291)

c. Mustajabnya doa sangat dipengaruhi oleh sesuainya doa tersebut dengan tuntunan Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- dalam sifat dan waktunya. Jika praktek doa jama’i itu menyelisihi tuntunan beliau, bagaimana doa itu akan mustajab?! Bagaimana Alloh mengabulkan doa hambanya, yang ketika berdoa ia bermaksiat kepada-Nya dengan bid’ah?! Jika ada bawahan yang meminta bantuan kepada bosnya saat ia melakukan pelanggaran, apa bosnya akan menuruti permintaannya?!… wa lillahil matsalul a’la…

3. Kebanyakan manusia tidak tahu bahasa arab, hingga kemungkinan besar mereka akan salah ucap ketika doa atau dzikir sendiri, padahal salah ucap adalah salah satu sebab tidak mustajabnya doa, dan kita tahu mereka akan terhindar dari kesalahan itu jika doa dan dzikirnya dilakukan secara berjamaah.

Jawaban:

a. Tidak termasuk syarat doa, harus tepat dalam pelafalannya, tapi yang menjadi syarat adalah ikhlas, kesungguhan dalam berharap, dan mengikuti petunjuk Nabi -shollallohu alaihi wasallam-. Bahkan dalam doa juga tidak ada syarat harus menggunakan bahasa arab, kita bisa berdoa dengan bahasa apa saja yang kita mampui, dan Alloh maha mengetahui dan memahami apa yang dikehendaki oleh hamba dalam doanya.

b. Lihatlah para sahabat dahulu, mereka telah menyebar ke berbagai negara setelah meluasnya pemerintahan Islam. Ketika itu, telah banyak terlihat ujmah dan lahn (salah dalam melafalkan kata), dikarenakan banyaknya non arab yang masuk Islam. Meski begitu, tidak ada seorang pun sahabat yang melakukan dzikir jamai ini. Apakah mereka lebih cerdas dari para sahabat dalam mencari jalan keluar permasalahan ini?! Apakah doa dan dzikir jamai satu-satunya jalan keluar dari permasalahan ini, hingga dijadikan sandaran bolehnya praktek itu?!

c. Taruhlah apa yang mereka sebutkan itu benar, yakni tepat dalam melafalkan menjadi syarat dikabulkannya doa dan dzikir, tapi bukankah hal itu juga terjadi ketika membaca Alquran, ketika sholat, dan ketika melakukan ibadah yang lainnya?! Apakah mereka akan mengatakan membaca Alqur’an sebaiknya selalu bersama-sama dengan satu suara agar tidak salah dalam melafalkannya?! Apakah mereka juga mengatakan dzikir dalam sholat sebaiknya diucapkan serentak dengan suara lantang agar tidak salah dalam mengucapkannya?! Bukankah ada cara yang sesuai syariat, misalnya dengan mengajari mereka dalam kesempatan lain, tanpa menciptakan bid’ah baru dalam agama ini?!

d. Jika kekhawatiran salah ucap ketika berdzikir itu bisa diterima, maka harusnya mereka tidak lakukan dzikir jama’i itu di pondok-pondok, madrasah-madrasah dan perkumpulan orang agamis lainnya. Tapi kenyataannya mereka tetap melakukan dzikir jama’i itu di segala tempat dan kondisi… Ini menunjukkan bahwa alasan di atas bukanlah alasan sebenarnya, tapi mereka punya keyakinan bahwa dzikir jama’i itu lebih utama dari pada dzikir sendiri… Sungguh yang benar adalah sebaliknya, dzikir sendiri jauh lebih utama dari dzikir jama’i, karena dengan dzikir sendiri kita bisa lebih tenang, khusyu’, dan ikhlas dalam menjalaninya hanya karena Alloh semata… Bahkan kita dilarang melakukan dzikir jama’i ini, karena tidak adanya tuntunan dari Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- dan para sahabatnya… Ingatlah selalu Sabda Nabi -shollallohu alaihi wasallam- ini: “Ambillah tuntunanku dan juga tuntunan para khulafa’ur rosyidin setelahku! Gigitlah tuntunan itu dengan gigi-gigi geraham kalian! Dan jauhilah hal-hal baru (dalam agama)! Karena setiap yang demikian itu bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat, dan setiap kesesatan itu tempatnya di neraka!”

e. Ajaran Islam adalah ajaran yang mudah, Islam tidak menyuruh umatnya menghapal seluruh dzikir yang dituntunkan oleh Rosul -shollallohu alaihi wasallam-… Di sana juga ada dzikir yang panjang, dan ada yang pendek… Bagi yang mudah menghapal, ia bisa menghapal dzikir yang ia kehendaki, bagi yang sulit menghapal, ia bisa memilih dzikir yang pendek untuk dihapal, seperti: subhanallohalhamdulillahla ilaha illallohAllohu akbar… dan banyak dzikir yang lainnya, kemudian mengulang-ulangnya kapan pun dan selama apapun ia kehendaki… Bukankah ini lebih bebas dan lebih mudah?!… Mengapa kita persulit diri dengan menentukan waktu, tempat, bacaan dll, hingga hal yang asalnya ringan dan sesuai syariat menjadi berat dan menyelisihi syariat?!

Jika benar ada maslahat dalam dzikir jama’i, tapi di sana ada mafsadah yang lebih banyak dan lebih besar dari pada maslahat yang ada, padahal kita semua tahu kaidah yang mengatakan bahwa: “Menghindari mafsadah itu lebih didahulukan, dari pada mendatangkan maslahat”… Diantara banyak mafsadah itu adalah:

a. Menyelisihi petunjuk Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- dan para sahabatnya, dan tidak diragukan bahwa setiap yang demikian itu termasuk bid’ah yang sesat. Seandainya itu kebaikan, tentunya telah dilakukan Nabi -shollallohu alaihi wasallam-, lalu dicontoh oleh para sahabat, dan tentunya banyak nukilan dari mereka tentang dzikir jama’i ini. Tapi karena tidak ada satu pun nukilan dari mereka, itu menunjukkan bahwa mereka tidak pernah melakukannya, dan jika mereka tidak pernah melakukannya padahal mereka mampu, itu berarti menunjukkan bahwa hal itu bukan merupakan syariat islam. Dan setiap yang tidak masyru’ pada saat itu, maka sekarang pun hal itu tidak disyariatkan.

b. Menyebabkan amalan seorang hamba tertolak. Rosul -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “Barangsiapa melakukan amalan yang tidak sesuai dengan tuntunanku, maka amalan itu tertolak”. Lihatlah bagaimana pintarnya setan menggoda manusia, orang yang suka syahwat digoda dengan maksiat agar dosanya semakin menggunung. Adapun orang yang suka ibadah, setan menggodanya dengan bid’ah (seperti dzikir jama’i) agar amalannya tertolak dan tak menghasilkan pahala, atau bahkan malah menuai dosa.

c. Jika tempatnya di masjid, akan mengganggu para jamaah lain yang sedang sholat, dan membaca Alqur’an. padahal beliau telah bersabda: “Ingatlah bahwa kalian semua sedang bermunajat kepada Tuhannya, maka janganlah sebagian kalian mengganggu sebagian yang lain, dan janganlah sebagian kalian mengangkat suaranya atas sebagian yang lain”. (HR. Abu Dawud: 1135, dishohihkan oleh Albani).

d. Kadang terjadi pemotongan ayat dan dzikir yang tidak pada tempatnya, hingga bisa merusak maknanya.

e. Dzikir jamai menyebabkan banyaknya bermunculan dzikir-dzikir bid’ah lainnya. Padahal kita tahu bahwa: “Setiap ada bid’ah yang hidup, berarti ada sunnah yang mati”. Jika semakin banyak bid’ah tumbuh, berarti semakin banyak sunnah yang mati. Sungguh ini merupakan mafsadah yang sangat besar sekali.

f. Menjadikan orang malas berdzikir dan berdoa apabila tidak ada orang yang menuntunnya. Padahal sebenarnya kita diperintah untuk berdzikir dan berdoa kapan saja, dan dimana saja, tentunya dengan adab-adab yang mulia.

Dalil kelima:

Dzikir dengan bentuk seperti ini hanyalah sebuah wasilah, sedang tujuannya adalah beribadah kepada Alloh, padahal ada kaidah mengatakan: “Hukum sebuah wasilah (sarana/perantara), itu seperti hukum tujuannya” dan karena tujuannya adalah ibadah, dan ibadah itu dianjurkan, maka dzikir jama’i juga menjadi sesuatu yang dianjurkan.

Jawaban:

Kaidah di atas bisa dibenarkan bila wasilahnya dibolehkan oleh syariat, misalnya: Membeli air untuk tujuan wudlu yang diwajibkan, atau bekerja untuk menafkahi keluarga yang diwajibkan, atau tidur untuk mengembalikan kekuatan untuk ibadah… dll. Maka kaidah itu bisa diterapkan dalam masalah ini, sehingga membeli air, menafkahi keluarga, dan tidurnya menjadi amal ibadah…

Tapi kaidah itu tidak bisa diterapkan dalam wasilah yang diharamkan, misalnya: Mencuri air untuk tujuan wudlu yang diwajibkan, merampok untuk menafkahi keluarga yang diwajibkan, atau mengonsumsi narkotik agar ibadahnya tenang… dll. Apakah hukum wasilah di sini akan berubah?! Tentunya tidak. Tetap saja mencuri, merampok, dan mengonsumsi narkotik diharamkan, meski tujuannya mulia…

Begitu pula dalam masalah ini, tujuan yang mulia (seperti ibadah dzikir), tidak bisa merubah hukum wasilah yang diharamkan (seperti bid’ah dzikir jama’i). Hal ini telah lama dilarang oleh Nabi -shollallohu alaihi wasallam-. Lihatlah kisah tiga orang sahabat yang datang ke kediaman Rosul -shollallohu alaihi wasallam-! Ketika mereka merasa kecil hati karena mendengar kisah ibadahnya beliau, diantara mereka ada yang ingin sholat semalam suntuk, ada yang ingin puasa terus, dan ada yang ingin tidak menikah seumur hidup… Tujuan mereka sungguh sangat mulia, yakni ingin fokus dan membanyak ibadah, subhanalloh… Tapi Rosul -shollallohu alaihi wasallam- melarang mereka melakukannya, mengapa?! Karena itu tidak sesuai dengan tuntunan Beliau. Renungkan sabda beliau ketika mengingkari mereka: “Maka barangsiapa tidak suka dengan sunnahku, ia bukan termasuk golonganku”… Lihatlah… Tujuan yang mulia tidak otomatis menjadikan wasilahnya baik… Tapi tujuan yang baik, harusnya diraih dengan wasilah yang baik pula… (Bersambung)

Komentar
  1. abu hanifah alim berkata:

    pembahasan yg sangat menarik,
    yg semoga dapat membuka hati mereka orang-2 yg mengaku cinta Rasul namun disayangkan sekali amaliyahnya justru menyimpang jauh dari ajaran Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam,
    agar supaya menyadari akan kekeliruannya
    seperti yg dilakukan oleh kebanyakan kaum muslimin di negerikita ini khususnya,
    semoga Allah memberikan hidayah kpd mereka,
    syukran ustadz ditunggu kelanjutannya,
    barakallahu fik

    • addariny berkata:

      Amin…3 semoga Alloh memperbaiki umat islam sekarang, hingga nantinya mereka mampu menggapai kejayaan sebagaimana para generasi pendahulu mereka…
      Sungguh umat ini tak akan jaya, kecuali dengan sesuatu yang menjadikan jaya para generasi pendahulunya…
      Syukron atas kunjungan dan komennya…
      wafikum barokalloh..

  2. Abu Syaef berkata:

    Syukran ustadz atas ilmu yang disampaikan
    Barakallahu fiik

  3. Sumbogo,ST berkata:

    alhamdulillah artikel yg ilmiyah,lengkap dan mudah dicerna..ditunggu klanjutannya ya Ustadz.tapi kalo bisa artikel ttg salah kaprah ttg sholat subuh dihapus aja. sesama ahlus sunnah yg sedikit ini kita harus berksaih sayang….afwan

    • addariny berkata:

      Walhamdulillah, wa ma taufiqi illa billah…
      InsyaAlloh jika ada waktu masih dilanjutkan…
      Artikel salah kaprah, justru itu bentuk kasih sayang sesama ahlus sunnah…
      Akhi fillah, kasih sayang bukan berarti tidak mengingatkan… Dalam surat al-Ashr disebutkan, orang yang tidak merugi adalah mereka yang beriman, beramal sholeh, saling mengingatkan dalam kebenaran, dan saling mengingatkan dalam kesabaran…
      Kita tinggal tunggu waktu saja.
      Ana masih yakin dalam masalah shubuh, derajat -18 lah yang cocok untuk daerah yang dekat dengan garis katulistiwa, sebagaimana dipakai oleh mayoritas kaum muslimin…
      Jika depag menggunakan -20, berarti jika ada kesalahan, itu maksimal hanya 10 menit. Tapi ana dengar ust. Zainal Abidin, katanya depag pake derajat -18, jika itu benar, berarti tidak perlu ada koreksi… wallohu a’lam…
      Ana yakin dengan berjalannya waktu semua masalah itu akan terjawab, di indo isu ini belum berumur setahun… itu wkt yang terlalu singkat untuk langsung memvonis siapa yg salah, siapa yang benar… masih banyak yang harus dikoreksi… kedua belah pihak sama2 perlu berbenah diri… sama2 ada kemungkinan salahnya… Mungkin depag yang terlalu cepat subuhnya, mungkin Isna yang terlalu lambat subuhnya… wallohu a’lam…
      afwan jika ana tidak sependapat dengan antum dalam masalah ini…
      syukron atas kunjungan dan komennya…

  4. mas derajad berkata:

    assalamu’alaikum wr. wb. setelah saya baca artikel panjang ini, arahnya adalah menyebut bid’ah atas zikir jama’i ba’da shalat. hal ini sangat saya sayangkan, karena dalam shahih imam bukhari dan imam muslim, jelas ada hadits yang menjelaskan bahwa ini pernah dilakukan di jaman rasulullah. bahkan hadits qudsi yang diriwayatkan oleh beliau berdua disebutkan bahwa allah akan memuliakan bagi jamaah zikir. saran saya, jangan gampang membid’ahkan sesama muslim, kalau memang ada perbedaan itu justru rahmat allah, tapi kalau tetap akan dicari kebenaran silahkan duduk dalam suatu kegiatan bahtsul masail, silahkan kemukakan dalil dengan nash dan sanad yang shahih. jika seperti ini hanya akan membingungkan umat islam sendiri.

    • addariny berkata:

      Waalaikum salam warohmatulloh…
      Memang dzikir jama’i ba’da sholat wajib itu tidak dituntunkan oleh Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- sebagaimana pendapatnya Imam Syafi’i, dan Imam Nawawi -rohimahumalloh-

      Tentang masalah yang antum sebutkan… semua sudah saya jawab dalam artikel yang pertama… coba dibaca semuanya, semoga bermanfaat bagi antum…

      Khilaf dan perbedaan pendapat jika saling bertentangan, maka itu bukanlah rahmat… seandainya itu rahmat tentunya Alloh memujinya, tapi sebaliknya dalam Alqur’an Dia malah mencelanya, simaklah firman-Nya berikut ini: “Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia jadikan manusia itu umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu” (Surat Hud: 118-119)

      Lihatlah kalimat yang ana cetak tebal, dari situ kita paham, bahwa perselisihan itu bukanlah rahmat dari Alloh… Tetapi sebagaimana dikatakan salah seorang sahabat Nabi, yang bernama Abdulloh bin Mas’ud, bahwa: “Perselisihan adalah suatu keburukan”

      InsyaAlloh artikel ini tidak membingungkan, tapi membuka wacana baru bagi mereka yang belum pernah tahu hal ini…

      sekian, mohon maaf atas kata-kata yang kurang berkenan…

  5. Ibnu Shalih berkata:

    Assalaamu’alykum. Ustadz, ana masih bingung terutama dalam kaidah bid’ah (maaf, sedikit out of topic) jadi ana ingin tanya, walaupun mungkin pertanyaan ana ini terlihat bodoh tapi tak apalah…mudah2an setelah pertanyaan ana ini terjawab, ana bisa bertambah paham.

    Bukankah Nabi ‘alaihi shalatu wa sallam membebaskan bilangan dzikir bagi umatnya, maka apakah berarti boleh bagi umatnya untuk menetapkan jumlah bilangan dzikir, misal, Allahu Akbar 1000x. tahlil 1000x, dll? sebab kan Nabi telah membebaskan umatnya dalam penentuan bilangan dzikir, apakah ini benar?

    Kasus diatas berbeda dengan shalat sunnah fajr, dll sebab Nabi telah menentukan raka’at shalat sunnah fajr alias tidak membebaskan umatnya untuk menambah/mengurangi rakaatnya…maka tidak boleh bagi umatnya untuk menambah raka’at shalat sunnah fajr sebagaimana dalam atsar dari Sa’id bin Al-Musayyib Sang Faqih Madinah Qaddasallhu ruuhahu…bagiamana ustadz? mohon jawabannya…

    Ana mencintai antum yaa ustadz, Allah lah saksinya….

    • addariny berkata:

      Waalaikum salam warohmatulloh…

      Akhi fillah… bertanya adalah gerbangnya ilmu, jadi jangan sungkan untuk bertanya hal2 yang memang butuh ditanyakan… kita di sini sama-sama belajar, sama-sama ingin mendapatkan tambahan ilmu… jadi ga perlu malu atau takut keliatan bodoh… mungkin ana lebih bodoh dari antum…

      Memang Nabi -shollallohu alaihi wasallam- membebaskan umatnya untuk berdzikir, beliau juga menganjurkan untuk berdzikir sebanyak mungkin… kita boleh berdzikir seribu kali, sepuluh ribu kali, atau berapapun bilangan yang kita inginkan… itu tidak ada masalah…

      Yang menjadi masalah adalah menentukan bilangan dzikir dan meyakini adanya fadlilah tertentu pada bilangan tersebut… meyakini bahwa bilangan yang ditentukan lebih utama dari bilangan lain, tanpa adanya dalil yang shohih dan shorih tentang hal itu… merutinkan salah satu bilangan, sehingga orang lain yang melihat kita bisa salah paham, menganggap bahwa Rosul -shollallohu alaihi wasallam- pernah mengajarkan bilangan tersebut… seperti yang banyak diperaktekkan pada acara dzikir jama’i… misalnya baca tahlil 11x, baca sholawat 3x, baca istighfar 3x, baca ini 7x, baca itu 5x, dst… mereka melakukan hal itu dengan cara-cara yang seakan-akan sudah dipatenkan dari sananya… seakan-akan cara seperti itu dari Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-… kalau sudah seperti ini, maka jadinya adalah bid’ah idlofiyyah, yakni amalan ibadah yang asalnya disyariatkan, tapi kesalahan pada cara dan bentuk pelaksanaannya…

      Jika antum kurang cocok dengan contoh sholat shubuh yang memang jelas ada nashnya… sekarang ana beri contoh lain, semoga contoh ini lebih jelas dan mudah dipahami:
      Ana contohkan masalah sholat sunat mutlak… Bukankah Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- menganjurkan umatnya untuk memperbanyak sholat sunat mutlak tanpa batasan tertentu?!… bukankah ketika safar, kita bisa sholat sunat mutlak sebanyak mungkin selagi kita menginginkannya dan tidak pada waktu yang dilarang, sebagaimana dituntunkan oleh Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-?!…
      Jika demikian, lalu bolehkan kita menentukan bilangan tertentu, misalnya dengan sholat sunat mutlak 10 rekaat terus, atau 20 rekaat terus, atau 40 rekaat terus, hingga seakan-akan bilangan itu datangnya dari nabi -shollallohu alaihi wasallam-, atau seakan-akan bilangan itu lebih utama dari bilangan lain?!… Bolehkan kita membuat cara sholat sunat mutlak tersebut dengan bentuk tertentu, misalnya setiap selesai 4 rekaat kita baca alquran 2 halaman, nanti setiap 10 rekaat ada doa khususnya, lalu setiap 20 rekaat ada dzikir khususnya… dst?!…
      Tentu hal ini tidak boleh kita lakukan, karena ibadah tersebut sudah berubah status… dari yang asalnya ibadah, menjadi bid’ah idlofiyyah…
      Di sinilah kepintaran setan, bahkan dalam hal ibadahpun ia masih bisa mencari celah untuk menjerumuskan manusia… Ia berusaha merubah amalan yang asalnya ibadah, menjadi amalan bid’ah, hingga amalan tersebut tidak sesuai dengan tuntunan beliau, akhirnya amalannya menjadi sia-sia tanpa pahala, atau bisa2 ia malah menuai dosa… wal iyadzubillah…
      sekian, wallohu a’lam…
      Semoga Alloh mencintai antum, yang karena-Nya antum mencintai ana…

  6. Ibnu Shalih berkata:

    Jazaakallah khair…
    Pertama, ana ucapkan terima kasih banyak kepada ustadz. Kedua, ana ingin bertanya lagi (kalau tidak keberatan) sebab ada yang belum ana pahami dari jawaban antum diatas…
    ustadz katakan “Yang menjadi masalah adalah menentukan bilangan dzikir dan meyakini adanya fadlilah tertentu pada bilangan tersebut… meyakini bahwa bilangan yang ditentukan lebih utama dari bilangan lain, tanpa adanya dalil yang shohih dan shorih tentang hal itu”. ungkapan semacam ini sering ana dengar dari asatidzah salafi dan beberapa buku/artikel yang membahas tentang bid’ah.sependek pengetahuan ana ungkapan ini terkait dengan apa yang menjadi “sebab” kita melakukan ibadah bukan berkaitan dengan tata cara, waktu, tempat, jumlah, dll. yang jadi pertanyaan ana, kok bisa ya ustadz…jika si fulan melakukan dzikir Allahu akbar 1000x tanpa meyakini adanya fadhilah dan si ‘alan melakukan hal yang sama TAPI dengan meyakini adanya FADHILAH, maka apa yang dilakukan si ‘Alan menjadi bid’ah tapi yang dilakukan si fulan tidak jadi bid’ah…? apa alasannya atau apa dalilnya bahwa dengan meyakini adanya fadhilah pada amalan tertentu yang tidak ada dalil yang shahih wa sharih dapat menjadi bid’ah? ana bingung, padahal titik perbedaannya hanya meyakini ada atau tidaknya fadhilah. Mohon dijelaskan ustadz…

    Maaf ustadz, pertanyaan ana sedikit panjang, ana berusaha buat sesingkat dan sejelas mungkin agar maksud pertanyaan ana menjadi jelas…tapi baru inilah kemampuan ana…Ingin rasanya bertemu langsung dengan antum dan melakukan soal jawab supaya komunikasinya lebih mudah berbeda kalau dengan lewat tulisan…

    Btw, adakah rencana ustadz untuk mampir dan ngisi kajian di bumi Pogung (Masjid Pogung Raya di Sleman, Yogyakarta)?. Kalau ada mungkin kawan2 YPI Al-Atsari bisa ikut bantu…ingin rasanya bertemu antum…

    • addariny berkata:

      Inti dari permasalahan yang antum tanyakan bersumber dari satu kaidah yang telah disepakati oleh para ulama islam, yaitu kaidah: “Semua ibadah itu asalnya terlarang, sehingga ada dalil yang membolehkannya”…

      Jelas, jika si fulan dzikir Alloh Akbar 1000x, tanpa ada keyakinan fadlilah tertentu dalam bilangan itu, ia masih dalam koridor dalil umum, yakni dalil dianjurkannya memperbanyak dzikir secara umum…

      Beda halnya, jika si ‘allan berdzikir Allohu Akbar 1000x karena ada keyakinan fadlilah tertentu, padahal tidak ada dalil khusus tentang bilangan itu… Pada keadaan seperti ini, sebenarnya ia mengamalkan amalan ibadah tertentu, tanpa ada dalil khusus tentangnya… Sebenarnya ia ingin mendapatkan fadlilah dan pahala khusus dari bilangan tertentu itu, dan inilah makna ibadah… padahal kita tahu, semua ibadah itu asalnya terlarang, sehingga ada dalil yang membolehkannya…

      Jangan heran, hanya dengan keyakinan, suatu amalan bisa berubah 180 derajat… Coba antum lihat contoh berikut:
      2 orang membaca alqur’an 3 juz, yang satu karena yakin adanya fadlilah 1 huruf dibalas 10 kebaikan, dan yang lain yakin adanya fadlilah keutamaan bisa menjadi pelet untuk perempuan yang diidamkannya…
      2 orang membaca dzikir Allohu akbar 33x, yang satu karena yakin adanya pahala agung dari-Nya, dan yang lain yakin adanya fadlilah bisa mengantarkannya ke tampuk pimpinan yang diincarnya…
      2 orang membaca surat yasin 100 kali, yang satu ingin menghafalkannya, dan yang lain ingin fadlilah agar si fulan yang telah mati diringankan siksa kuburnya karenanya…
      2 orang sholat sunat dua rekaat, yang satu dg keyakinan adanya pahala sholat sunat, dan yang lain dg keyakinan selamat dari siksa kubur…
      2 orang haji atau umroh, yang satu dg keyakinan pahala masuk surga, bersih dari dosa, dan menjauhkannya dari kefakiran… sedangyang lain dg keyakinan akan dapat fadlilahnya mati syahid…

      Semua contoh di atas hasilnya: yang satu menjadi ibadah, dan yang lain menjadi bid’ah… wallohu a’lam… semoga jawaban ana tidak menambah bingung antum…
      InsyaAlloh ana mau nulis masalah kaidah-kaidah bid’ah… semoga dimudahkan oleh-Nya… amin…

  7. Ibnu Shalih berkata:

    Jazaakallah khair…

    Terima kasih banyak. Ana cerna dulu jawaban antum, nanti kalau masih ada yang perlu ditanyakan akan ana tanyakan lagi…

    Ana tunggu lho ustadz, artikel antum tentang qawaa’id ma’rifatil bida’-nya…Semoga Allah memudahkan antum…amin ya Rabb

  8. Muhammad Rais Ahmed berkata:

    Assalamu Alaikum Ustadz.

    Akhir akhir ini sering kita lihat di TV tentang Zikir ber jamaah di pimpin seorang Ustadz terkenal untuk tujuan penyembuhan penyakit, Pelaksanaan Zikir ini dihadiri ribuan Umat Islam bahkan sampai2 Presiden Gubernur Bupati dan mentri hadir dalam acara tersenbut.
    Mohon penjelasan dari Ustadz bagaimana hukumnya dalam pandangan Islam
    Sekian wassalam

    Muhammad Rais Ahmed.

    • addariny berkata:

      Waalaikum salam warohmatulloh…

      Masalah yg antum tanyakan, masuk dalam kategori dzikir jama’i, jawabannya sudah ada di artikel di atas…

  9. anto berkata:

    Assalamualikumwrwb…
    salut atas perjuangan Ustadz Addariny…teruskan perjuangan pak Ustadz…
    Wassalamualaikumwrwb…

  10. […] Begitu pula dalam masalah ini, tujuan yang mulia (seperti ibadah dzikir), tidak bisa merubah hukum wasilah yang diharamkan (seperti bid’ah dzikir jama’i). Hal ini telah lama dilarang oleh Nabi -shollallohu alaihi wasallam-. Lihatlah kisah tiga orang sahabat yang datang ke kediaman Rosul -shollallohu alaihi wasallam-! Ketika mereka merasa kecil hati karena mendengar kisah ibadahnya beliau, diantara mereka ada yang ingin sholat semalam suntuk, ada yang ingin puasa terus, dan ada yang ingin tidak menikah seumur hidup… Tujuan mereka sungguh sangat mulia, yakni ingin fokus dan membanyak ibadah, subhanalloh… Tapi Rosul -shollallohu alaihi wasallam- melarang mereka melakukannya, mengapa?! Karena itu tidak sesuai dengan tuntunan Beliau. Renungkan sabda beliau ketika mengingkari mereka: “Maka barangsiapa tidak suka dengan sunnahku, ia bukan termasuk golonganku”… Lihatlah… Tujuan yang mulia tidak otomatis menjadikan wasilahnya baik… Tapi tujuan yang baik, harusnya diraih dengan wasilah yang baik pula… (https://addariny.wordpress.com/2009/12/08/mengkritisi-dzikir-jamai-2-utk-dewasa/) […]

Tinggalkan komentar