KITAB: MUZARO’AH[1]
Bab: Larangan menyewakan tanah
(972) Dari Jabir bin Abdulloh, bahwa Nabi -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “Barangsiapa yang memiliki lahan (sawah), maka tanamilah sendiri! atau (jika tidak), hendaklah ditanami oleh saudaranya, dan janganlah ia menyewakannya!”
Bab: Menyewakan tanah, dengan makanan (sebagai bayarannya)
(973) Rofi bin Khodij mengatakan: Di zaman Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- Kami biasa menyerahkan penggarapan lahan (sawah) kepada orang lain, dan kami menyewakannya dengan pembayaran sepertiga atau seperempat dari hasil panen atau dengan makanan yang jelas takarannya. Kemudian pada suatu hari, salah seorang dari pamanku mendatangiku seraya mengatakan: Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- telah melarang kami, untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya ada manfaatnya bagi kami, akan tetapi taat kepada Alloh dan Rosul-Nya tetap lebih besar manfaatnya bagi kami, beliau melarang kami untuk menyerahkan penggarapan tanah (sawah) kepada orang lain, lalu kami pungut upah sewanya, dari sepertiga atau seperempat hasil panen atau dari makanan yang jelas takarannya. Beliau menyuruh tuan tanah untuk menanaminya sendiri, atau agar ditanami oleh saudaranya. Beliau melarang akad sewa lahan (sawah) atau akad sejenisnya.
Bab: Menyewakan tanah, dengan emas dan perak (sebagai bayarannya)
(974) Hanzholah bin Qois al-Anshory mengatakan: Aku pernah bertanya kepada Rofi’ bin Khodij tentang masalah sewa tanah dengan emas perak (sebagai bayarannya), ia menjawab: Hal itu tidak dilarang. Adapun di zaman Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-, orang-orang biasanya menyewakan tanahnya, dengan bayaran berupa tanaman yang tumbuh (di bagian tanah tertentu dari tanah yang disewakannya, misalnya tanah yang berada) di pinggiran sungai besar, atau di pinggiran sungai kecil, atau di bagian tanah tertentu dari sawah tersebut. Sehingga kadang yang ini rugi sedang yang itu untung, (kadang pula sebaliknya), yang ini untung sedang yang itu rugi. Pada waktu itu, mereka tidak memiliki cara sewa tanah (sawah) selain itu, oleh karenanya hal itu dilarang. Adapun sewa tanah (sawah) dengan imbalan yang jelas dan pasti, maka itu tidak dilarang.
Bab: Mu’ajaroh (sistem upah)
(975) Abdulloh bin Sa’ib mengatakah: Kami pernah menemui Abdulloh bin Ma’qil, lalu kami menanyakan kepadanya masalah muzaro’ah. Ia menjawab: Tsabit mengira Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- telah melarang muzaro’ah dan membolehkan mu’ajaroh (sistem upah). Tsabit mengatakan lagi: Tidak ada larangan pada akad mu’ajaroh.
Bab: Memberi hak garap tanah secara sukarela
(976) dari Thowus: bahwa dia biasa melakukan akad sistem mukhobaroh[2]. Amr mengatakan: Wahai abu Abdirrohman, sebaiknya kau hindari sistem mukhobaroh ini!, karena orang-orang beranggapan bahwa Nabi -shollallohu alaihi wasallam- melarangnya. Thowus menjawab: Wahai Amr, telah memberitahukan kepadaku orang yang paling tahu masalah itu, yakni: Ibnu Abbas, bahwa Nabi –shollallohu alaihi wasallam– tidak melarangnya, beliau hanya mengatakan: Seandainya salah seorang diantara kalian, menggratiskan hak garap tanahnya untuk saudaranya, itu lebih baik dari pada ia mengambil bayaran tertentu darinya.
Bab: Musaqoh[3] dan menggarap tanah, yang upahnya dari sebagian hasil buah dan pertaniannya.
(977) Ibnu Umar mengatakan: Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- dahulu menyerahkan tanah khoibar (untuk digarap), dengan upah setengah dari hasil buah dan pertaniannya. Dari hasil tersebut, beliau bisa menafkahi para istrinya sebanyak 100 wasaq[4] pertahun. 80 wasaq berupa kurma, sedang 20 wasaq berupa sya’ir (jewawut/malt). Pada saat Umar menjadi kholifah, dia membagi (tanah khoibar itu), dan memberikan pilihan kepada para istri Nabi -shollallohu alaihi wasallam-, antara mengambil tanah dan pengairannya, atau (seperti sebelumnya) menerima hasilnya beberapa wasaq tiap tahunnya. Dan pilihan mereka berbeda-beda, ada yang memilih tanah dan pengairannya, ada juga yang memilih menerima hasilnya beberapa wasaq. Adapun Aisyah dan Hafshoh, mereka berdua memilih mengambil tanah dan pengairannya.
Bab: Orang Yang Menanam Tanaman
(978) Jabir mengatakan: Rosululloh –shollallohu alaihi wasallam– bersabda: Tidaklah seorang muslim menanam tanaman, kecuali ia mendapat pahala dari apa yang bisa dimakan dari tanaman itu. Apa yang dicuri dari tanaman itu, merupakan sedekah bagi penanamnya. Apa yang dimakan oleh binatang buas, merupakan sedekah bagi penanamnya. Apa yang dimakan oleh burung, merupakan sedekah bagi penanamnya. Dan tidaklah tanaman itu diambil oleh orang lain, melainkan menjadi sedekah bagi penanamnya.
Bab: Menjual Air Yang Lebih dari Kebutuhan
(979) Jabir bin Abdulloh mengatakan: Rosululloh –shollallohu alaihi wasallam– melarang penjualan air yang lebih dari kebutuhan.
Bab: Melarang Orang Mengambil Air dan Rumput yg Lebih dari Kebutuhan
(980) Abu Huroiroh mengatakan, Rosululloh –shollallohu alaihi wasallam– bersabda: Janganlah kalian melarang orang, untuk mengambil air yang lebih dari kebutuhan (guna menghidupi rumputnya), karena dengan menghalanginya, berarti kalian menghalanginya mendapatkan rumput.
Alih bahasa oleh Addariny, di Madinah, 2 Juni 2009
[1] Muzaro’ah adalah: Akad pengerjaan lahan sawah, dengan benih dari tuan tanah, dan upah pekerja dari sebagian hasil panennya.
[2] Mukhobaroh adalah: Menyewakan tanah, dengan upah sepertiga dari hasil panen, atau seperempatnya, atau sesuai kesepakatan kedua belah pihak, dan benih dari pihak penggarap.
[3] Musaqoh adalah: menyerahkan kebun beserta pohonnya, kepada pekerja, agar dirawat, dengan upah dari sebagian hasil buahnya.
[4] 1 wasaq = 60 sha’, 1 sha’= 2,176 kg. 100 wasak = 2,176 x 60 x 100 = 13.056 kg
assalam…
wah terimakasih atas info haditsx..
salam kenal ^^
kunjungan balik sangat diharapkan
waalaikum salam warohmatulloh….
makasih kembali…. semoga bisa menambah khazanah ilmiah dan amaliah kita, amin…
sekarang aku jadi kenal kang pitaxxx
insyaAlloh aku berkunjung juga… syukron atas kunjungan dan comment-nya…